Survei pemanfaatan rumah bantuan program Fasilitas Likuditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) yang dilakukan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menemukan, 30 persen rumah yang sudah akad kredit tidak dihuni karena tidak layak.
Namun, anggapan bahwa rumah yang telah terbangun tidak layak huni, ditampik pengembang.
Menurut Managing Director PT Sri Pertiwi Sejati (SPS) Asmat Amin, lokasilah yang menjadi alasan masyarakat yang telah akad kredit tidak menghuni rumah subsidi.
“Pemerintah juga harus tanggap tentang ini, jangan dia general, oh ini rumah tidak ditempati. Salah. Seharusnya dilihat kendalanya satu persatu ini kenapa bisa enggak ditempati,” kata Asmat di Villa Kencana Cikarang, Jawa Barat, Senin (28/8/2017).
Asmat mengatakan, tak jarang rumah subsidi yang dibangun pengembang, lokasinya jauh dari pusat kota tempat masyarakat bekerja. Sementara, ada kebutuhan masyarakat untuk memiliki rumah.
Kebutuhan itu tidak sejalan dengan kemampuan daya beli masyarakat. Di sisi lain, pemerintah juga tidak mampu menyediakan hunian yang cukup di lokasi terjangkau dengan tempat kerja mereka.
“Sehingga, mereka beli di Depok, Bogor, atau di Bekasi, Karawang yang tidak feasible untuk ditempati,” kata dia.
Asmat menuturkan, hunian menjadi salah kebutuhan utama masyarakat. Namun, lantaran tingginya harga, tak jarang masyarakat yang memanfaatkan program bantuan dari pemerintah asalkan bisa memiliki hunian.
“Karena apa? Karena nanti begitu mereka selesai kerja, mau tinggal dimana? Iya kan? Mumpung mereka disubsidi pemerintah, sehingga mereka ambil. sehingga nanti begitu mereka pensiun kerja, mereka ada rumah,” pungkas Asmat.(rm)