Kisah dari Banten Lama: Burung Merak, Gadis Prancis, dan Putra Mahkota

oleh
oleh
Keraton Kaibon, seluas 4 hektare, dibangun pada tahun 1815. Tempat tinggal Ratu Aisyah, ibunda Sultan Safiuddin (sultan Banten terakhir, sultan ke-17). Sultan Safiuddin dan keluarga dibuang ke Surabaya, tahun 1832. Keraton Kaibon itu kini jadi cagar budaya Provinsi Banten, berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Nomor 139/M/1998, Tanggal 15 Juni 1998.

Hinggap di Rumah Tetangga

Burung merak itu terbang entah ke mana, entah hinggap di mana.  Kini, tak kembali. Tersesatkah burung merak itu setelah terbang jauh? Entahlah! Sultan Muhammad Safiuddin, yang dibuang dari Banten ke Surabaya, oleh Pemerintah Hindia Belanda, tahun 1832 itu, memang dikenal sebagai penyayang binatang. Sekaligus pula, Sultan antipenjajahan .

Oleh karena burung merak tak juga pulang, Sultan kemudian menugaskan anak pembantu untuk mencarinya. Ternyata, tak jauh-jauh, burung merak itu hinggap di rumah tetangga, seorang pejabat di Konsulat Dagang Prancis, Surabaya.

Sang anak pembantu yakin, burung merak di rumah tetangga itu milik Sultan. Lalu, dia  minta izin masuk ke rumahnya untuk sekadar mengambil burung merak. Ternyata, pejabat  berkebangsaan Prancis itu tak mengizinkannya masuk ke rumahnya. Malah, dia memaki-maki sang anak pembantu itu. Dia minta agar tuannyalah  (sultan) yang datang, yang kemudian akan dijadikan keset kloset.

Sang anak pembantu gagal mengambil burung merak, dan melaporkan perlakuan tetangga, sang pejabat di Konsulat Dagang Prancis itu. Anak tertua Sultan Muhammad Safiuddin,

Pangeran Surya Kumala akhirnya tahu. Lalu, apakah sang Pangeran Putra Mahkota ini melabrak pejabat yang juga tetangganya itu? Tidak, sang Pangeran malah masuk kamar, menyendiri, tirakat. Entah apa  yang di-tirakat-kannya. Pokoknya, marah besar, tetap diam  dan senyap. Ayahnya dan keluarganya sudah nyata-nyata dihina dan dinista.

 

Sang Pangeran Cinta

Pada suatu hari, sang ayah, Sultan Safiuddin, menghadiri acara yang digelar orang-orang Eropa. Hadir pula sang tetangga, pejabat  yang memaki-maki Sultan. Pangeran Surya Kumala ikut dengan ayahnya. Demikianlah takdir, anak gadis tetangga yang pejabat asal Prancis itu  pun ikut. Terjadilah pertemuan kedua anak ini, yang memang sudah menginjak usia remaja.

Beberapa hari kemudian, setelah pertemuan kedua remaja  itu, pertemuan yang memang tak direncanakan, kini giliran sang gadis anak pejabat yang mencari-cari sang Pangeran Cinta, Pangeran Surya Kumala. Persis seperti sebelumnya, Sultan Safiuddin yang mencari-cari burung merak kesayangannya.

Seperti lelaki dan rembulan, yang diterpa angin sepoi-sepoi, dan cinta tumbuh saat pertemuan pertama. Sorot kedua bola mata sang Pangeran mungkin masuk, mengusik, dan jadi musik cinta di hati sang gadis anak pejabat berkebangsaan Prancis  itu. Mereka pun saling jatuh cinta.  Romantis.  Cinta lintas agama dan benua.

 

Menikah dalam Diam

Cinta berhasil meruntuhkan segalanya. Pangeran Kumala menikah dengan sang gadis anak tetangganya itu, dan tanpa sepengetahuan sang ayah. Padahal,  Sultan sudah bersumpah sebelumnya, bahwa tak boleh ada keturunannya  yang  menikah dengan orang Eropa.

Apa pun, cinta sudah terjalin kuat dan melekat. Tak ada yang bisa memisahkan mereka. Keduanya anak orang terhormat. Lalu,  mereka  pergi jauh entah ke mana, mungkin sambil membawa mimpi indah. Mereka menikah dalam diam.

Pangeran Surya Kumala  pun rela kehilangan statusnya sebagai putra mahkota, pengganti sang ayah. Gelar kebangsawanannya pun dicabut. Namun, Surya Kumala  jadi sang Pangeran Cinta, setidak-tidaknya, bagi gadis Prancis itu.

 

Sultan Safiuddin Wafat

Sultan Safiuddin menikah dengan Ratu Putri Fatimah. binti Pangeran Ahmad bin Sultan Aliyuddin I (Sultan Banten ke-13). Menurut pakar sejarah Banten, Mufti Ali (2009 : 31), Sultan Safiuddin  punya  empat anak : Pangeran Surya Kumala, Pengeran Surya Kusuma (Pangeran Haji), Pangeran anonim, dan Pangeran Surya Atmaja (Pangeran Timur). Pangeran anonim ini (yang tak diketahui identitasnya), menurut sumber lain, bernama Ratu Ayu Kunthi.

Sultan Safiuddin, menurut peneliti sejarah Banten yang lain, Ibnu Adam Aviciena, hakikatnya adalah sultan terakhir Banten. Sultan yang pernah diangkat Belanda, Sultan Rafiuddin, tak berdaulat, dan tak diakui pula sebagai sultan oleh kerabat Kesultanan Banten. Sultan Rafiuddin memang bertahta setelah Sultan Safiuddin. Akhirnya, pada tahun yang sama (1893), Sultan Rafiuddin pun dibuang Belanda ke Surabaya.

Sultan Safiuddin wafat pada tahun 1899, dimakamkan  di Pemakaman Boto Putih (Surabaya) di seberang pemakaman Sunan Ampel. Nama Safiuddin, atau sering ditulis Shafiuddin berasal dari bahasa Arab, shafiyyuddiin (kemurnian agama).  Atau pula, kalau berasal dari (bahasa Arab) syafii’uddiin, artinya  penolong atau penyelamat agama. Dalam kerajaan klasik Islam, sultan biasanya pula sekaligus jadi pemimpin agama. (Dean Al-Gamereau).

No More Posts Available.

No more pages to load.