MAJALAHTERAS.COM – Seiring dengan tersingkirnya Belanda, Jepang datang, juga jadi penjajah (1942 – 1945). Penerbitan Pers Belanda dilarang. Kantor Berita Belanda Aneta pun dikosongkan. Wartawan Belanda ditangkap dan dipenjarakan. Kantor Berita Antara (Indonesia) dilebur dengan Kantor Berita Domei (Jepang). Pemerintah Jepang lalu menerbitkan, antara lain, Djawa Baroe, yang tentu saja berisi propaganda.
Pers yang diterbitkan Jepang adalah pers Pemerintah. Terbit untuk mendukung Pemerintah, dan terbit pula agar rakyat Indonesia bersimpati kepada Pemerintah Jepang. Oleh karena itu, ada sensor untuk berita-berita yang sekiranya akan merugikan Jepang.
Pada zaman penjajahan Jepang ini, peraturan pers pun dibuat, dan secara tersirat, tampak penjajah Jepang ingin menghapuskan seluruh peraturan pers dan penerbitan pers zaman Hindia Belanda. Penguasa Jawa – Madura mengatur publikasi dan komunikasi dengan Undang-Undang Nomor 16. Isi undang-undang ini, antara lain, adanya peraturan izin terbit dan melarang penerbitan pers sebelumnya.
Salah satu bunyi undang-undang itu, bahwa semua barang cetakan harus mendapatakan izin cetak dari Pemerintah Jepang. Ada kantor-kantor sensor pers, seperti di Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya, dengan kantor pusat di Jakarta.
Semua barang cetak tidak boleh dikirim ke luar. Sebaliknya, pers cetak dari luar tidak boleh masuk ke daerah pendudukan Jepang. Tukar-menukar penerbitan pers antardaerah harus pula seizin Pemerintah Jepang. Pihak pencetak dan penerbit pun wajib mencantumkan identitasnya.
Untuk memperkuat dan memperketat sensor, Pemerintah Jepang menempatkan seorang shidooin (penasihat) di setiap penerbitan pers. Para penasihat ini, selain mengontrol isi, juga sekaligus menulis artikel. Namun, menggunakan nama anggota redaksi.
Kehadiran shidooin ini adalah bentuk sensor nyata yang melekat. Shidooin adalah gatekeeper dalam jajaran redaksi. Dengan demikian, berita-berita yang merugikan Pemerintah Jepang tidak mungkin lolos karena terjaring dan tersaring di “pintu” gatekeeper itu.
Pers pada zaman Jepang dirasakan lebih buruk dari pers zaman Belanda. Pengekangan, intimidasi terus berlanjut, sehingga menyulitkan wartawan jihad, wartawan pergerakan yang berjuang untuk kemerdekaan Indonesia.
Meski pers zaman Jepang lebih buruk, tetapi ada beberapa keuntungan yang diraih, antara lain, pengalaman karyawan pers bertambah dan penggunaan bahasa Indonesia semakin luas.
Koran yang terbit zaman Jepang, yang juga secara langsung atau tak langsung mendorong pertumbuhan bahasa Indonesia, antara lain, Asia Raja (1942), Tjahaja (1942), Soeara Asia (1945). Koran yang terang-terangan pro-kemerdekaan Republik Indonesia adalah Berita Indonesia.
Lebih dari itu, berita-berita yang disiarkan pers Jepang menyulut berpikir kritis di kalangan pembaca (www.merdeka.com. Unduh 09 Februari 20-24. Pukul 09.50 WIB). Untuk yang terakhir ini, boleh jadi, tidak terpikirkan Jepang sebelumnya.
Wartawan Indonesia bisa meliput, di bawah pengawasan ketat Pemerintah Jepang Hasil liputan yang disiarkan harus sesuai dengan sudut pandang dan kepentingan Pemerintah Jepang.
Pernah, koran Asia Raja menulis gagasan Sukarno dan Hatta tentang gagasan persatuan dan kemerdekaan. Beberapa wartawan Indonesia tetap menyelipkan pesan nasionalisme dan patriotisme perlawanan terhadap penjajahan (Historia.ID).
Pada masa penjajahan Jepang ini, terbit surat kabar Tjahaja, di Bandung, dengan pemimpin redaksi S. Branata. Surat kabar ini, pada tanggal 18 Agustus 1945, menerbitkan Undang-Undang Dasar 1945 – yang sekaligus menunjukkan Tjahaja “baru” jadi republiken seratus persen (https://mpn.kominfo.go.id. Unduh : Kamis, 08 Februari 2024, pukul 11 : 09 WIB). (Dean Al-Gamereau)