Kemendikbudristek Mitigasi Masyarakat Adat terhadap Pandemi Covid-19

oleh
oleh -
Ilustrasi Covid-19. (Foto: Antara)

Jakarta – Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) melakukan mitigasi masyarakat adat terhadap pandemi Covid-19. Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat Direktorat Jenderal Kebudayaan menyebut mitigasi itu bertujuan untuk mengatasi pandemi Covid-19, tidak berdampak terlalu buruk terhadap masyarakat, khususnya masyarakat adat.

“Mitigasi dimaksudkan untuk memberikan gambaran dan pemetaan yang komprehensif mengenai dampak pandemi Covid-19 pada masyarakat adat,” ujar dikatakan Direktur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat Sjamsul Hadi dalam kegiatan bincang ruang adat dan budaya bertajuk “Adaptasi dan Mitigasi Masyarakat Adat terhadap Pandemi Covid-19 Pembelajaran dan Urgensi Perlindungan”, Selasa (15/2/2022), sebagaimana keterangan tertulis, Kamis (17/2/2022) dilansir beritasatu.com.

Sjamsul menambahkan adanya kegiatan bincang ruang adat dan budaya ini, yakni untuk mendapat gambaran terkait dampak pandemi dan upaya adaptasi dan mitigasi masyarakat adat di Indonesia yang memiliki karakteristik berbeda-beda.

“Laporan ini digali dari para pendamping dan anggota masyarakat adat di lapangan selama pandemik. Masyarakat adat seringkali memiliki akses yang sangat terbatas terhadap fasilitas kesehatan modern seperti rumah sakit, klinik dan puskesmas,” ucapnya.

Baca Juga  Olahraga di CFD Dapat Minuman Gratis, Mau Ikutan?

Selain itu, masyarakat adat juga harus menghadapi tekanan ekologis, konflik lahan, hingga kehilangan sumber daya utamanya. “Minimnya ketersediaan dan akses terhadap fasilitas dasar kesehatan, penyebarluasan disinformasi terkait pandemi, termasuk distribusi vaksin yang tidak merata semakin menambah kerentanan masyarakat adat, khususnya di Indonesia,” terang Sjamsul.

Kendati demikian, Sjamsul juga mengatakan di luar persoalan ketimpangan struktural, secara alamiah masyarakat adat telah memiliki sistem pertahanan tersendiri yang diwariskan melalui pengetahuan dan praktik-praktik lokal. Sistem itu secara langsung maupun tidak, bermanfaat dalam menghadapi dampak pandemi Covid-19.

“Laporan ini mencatat beberapa praktik isolasi, menjaga jarak, dan karantina wilayah yang bersumber dari pengetahuan lokal masyarakat adat,” kata Sjamsul.

Sementara itu, Dirjen Kebudayaan Kemendikbudristek Hilmar Farid mengatakan sangat penting dalam strategi penanganan dampak pandemi pada masyarakat adat, memperhatikan latar belakang seperti kekhususan atau keragaman masyarakat adat yang berbeda-beda di setiap wilayahnya.

Baca Juga  Rugikan Negara Rp 30 M, Polri Bongkar Penyalahgunaan Pupuk Bersubsidi

Untuk itu, lanjut dia, sangat penting mendokumentasikan pengetahuan dan praktik yang dilakukan masyarakat adat. Menurut Hilmar Farid, penanganan berbasis karakteristik khusus masyarakat adat ini akan mendorong penanganan pandemi yang lebih berkeadilan. Hal ini terutama bagi masyarakat adat yang telah memiliki kerentanan sebelum pandemi untuk mendapatkan prioritas penanganan.

“Bagi masyarakat adat yang masih tertutup dan telah memiliki sistem pengendalian internal yang kuat, sebaiknya tidak diganggu oleh kedatangan orang luar yang justru akan merusak pertahanan alamiah mereka” kata Hilmar.

Disisi lain, menurut Hilmar, laporan merekomendasikan pentingnya dilakukan pemetaan yang lebih sistematis dan berkala untuk memotret situasi masyarakat adat di Indonesia.

“Pandemi Covid-19 ini memberi pelajaran pentingnya pendataan yang akurat dan waktu nyata, sehingga bisa diambil langkah-langkah yang tepat sesuai situasi dan kebutuhan masyarakat adat yang beragam,” katanya.

Baca Juga  Angin Puting Beliung Hantam 6 Kecamatan di Lampura

Hilmar mengatakan masyarakat adat melawan pandemi dengan mengedepankan warisan turun-temurun. Misalnya dengan pengetahuan yang memastikan ketahanan pangan dan pengobatan tradisional.

Menurut Hilmar, segala pengetahuan itu penting untuk dicatat dan didokumentasikan, seperti menghadapi situasi pandemi saat ini, sehingga tidak ada satu solusi mutlak yang berlaku untuk semua jenis masyarakat.

Selanjutnya, Hilmar juga mendorong masyarakat adat menjadi bagian normal baru yang seharusnya disusun berdasarkan praktik dan pengalaman konkret di akar rumput dan dihidupi oleh filosofi bahwa manusia merupakan bagian dari alam.

“Kita mesti menjadi bagian dari tatanan normal yang baru itu, bahwa baru itu bersandar pada berbagai macam kearifan lokal yang kita kumpulkan, dokumentasikan dan kita buktikan keampuhannya menghadapi situasi, seperti yang kita alami sekarang ini,” kata Hilmar Farid.(*/cr2)