Keliru, Jika Masyarakat Menyalahkan Lapas dalam Pemberian Remisi WBP Kasus Korupsi

oleh
oleh -

JAKARTA – Dosen Kriminolog Universitas Indonesia (UI) Iqrak Sulhin menyatakan keliru jika masyarakat menyalahkan lembaga pemasyarakatan (lapas) dalam pemberian remisi terhadap para koruptor, sebab lembaga ini hanyalah pelaksana pidana, sesuai perintah pengadilan.

“Lapas hanyalah eksekutor dari putusan pengadilan. Artinya soal berat ringan pidana itu kewenangan pengadilan dan bukan ranahnya lembaga pemasyarakatan,” katanya, Kamis (26/8/2021).

Baca Juga  Seminar Nasional HDKD ke-78, Lapas Cilegon Dukung Berlakunya Hukum yang Hidup dalam Masyarakat

Dikatakan, saat seseorang menjalani masa pidana penjara, semua harus sesuai dengan amanat UU Pemasyarakatan. Dalam arti para narapidana tetap berhak untuk mendapatkan haknya, baik hak mutlak seperti makan/minum maupun hak bersyarat, seperti remisi.

“Dalam hal hak bersyarat, ketika memenuhi syarat administratif dan substantif (seperti berkelakuan baik, tidak masuk register pelanggaran), maka tidak ada halangan bagi seorang narapidana untuk mendapatkan remisi (termasuk asimilasi dan pembebasan bersyarat). Baik untuk narapidana umum maupun narapindana khusus, seperti kasus narkotika atau korupsi,” tuturnya.

Baca Juga  Harga Tes PCR di Tangsel Belum Turun, dr. Allin: Semua Butuh Waktu

Justru malah aneh jika lapas menghalang-halangi seorang narapidana mendapatkan remisi karena semua sudah diatur dalam undang-undang. “Kalau pihak lapas menghalang-halangi orang dapat remisi, justru mereka melanggar undang-undang,” katanya.

Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 2006 dan Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 2012 menjadi dasar pemberian remisi umum tahun ini bagi narapidana tindak pidana korupsi.

Baca Juga  46 Tahun Jasa Marga Konstribusi Berkelanjutan Untuk Negeri Mewujudkan Green Toll Road

Ketentuan iniĀ  diperkuat Pasal 14 ayat 1 huruf (i) Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menyatakan narapidana berhak mendapatkan remisi.(rls).