Implikasi Putusan MK Dominasi Diskusi: Era Baru Pemilu Indonesia Tanpa Presidential Threshold

oleh
oleh -

Jakarta – Diskusi mengenai penataan sistem pemilu yang diselenggarakan oleh Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Jakarta, Jumat (5/9/2025), didominasi oleh pembahasan mengenai implikasi serangkaian putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang secara fundamental mengubah lanskap politik dan hukum kepemiluan di Indonesia.

Anggota KPU RI, Dr. Idham Holik, dalam seminar tersebut, menyoroti Putusan MK No. 62/PUU-XXII/2024 yang menghapus ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) sebesar 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional.

Putusan ini dinilai akan mengakhiri era politik koalisi transaksional yang selama ini menyandera proses pencalonan.

Dalam pertimbangannya, MK menyatakan bahwa presidential threshold tidak hanya bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, tetapi juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan keadilan yang tidak dapat ditoleransi (intolerable).

Baca Juga  Muhammad Mufti Mubarok dan Syaiful Ahmad Terpilih Sebagai Ketua dan Wakil Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional

Menurut Idham Holik, putusan ini membuka peluang bagi lebih banyak calon potensial untuk maju dalam kontestasi presiden, yang sejalan dengan semangat Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.

Penghapusan ini diharapkan dapat menggeser fokus dari lobi-lobi politik elite ke adu gagasan yang lebih substantif di antara para kandidat.

Selain penghapusan presidential threshold, putusan besar lainnya yang dibahas adalah Putusan MK No. 135/PUU-XXII/2024.

Putusan ini mengakhiri model pemilu serentak lima kotak suara yang dinilai terlalu kompleks dan memakan banyak korban jiwa pada Pemilu 2019 dan 2024.

Baca Juga  Optimalkan Kesehatan WBP, Rutan Bangil Kanwil Kemenkumham Jatim Bagikan Extra Fooding Bagi WBP Lansia

Ke depan, MK memerintahkan agar pemungutan suara dipisah menjadi dua jadwal: pemilu nasional (DPR, DPD, Presiden/Wapres) dan pemilu daerah (DPRD, Kepala Daerah) yang dilaksanakan dengan jeda waktu paling singkat 2 tahun dan paling lama 2,5 tahun. Bagaimana KPU dan DPR akan menindaklanjuti putusan ini menjadi pertanyaan besar.

Idham Holik menekankan bahwa penyesuaian regulasi, terutama revisi Undang-Undang Pemilu, harus segera dilakukan untuk memberikan kepastian hukum. MK sendiri, dalam Putusan No. 114/PUU-XX/2022, telah menggarisbawahi agar perubahan sistem pemilu tidak dilakukan terlalu sering dan harus melibatkan partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation).

Baca Juga  Korban Penyiraman Air Keras di Cianjur Meninggal

Hal ini menjadi tantangan bagi pembentuk undang-undang untuk merancang sistem yang stabil dan mapan.

Para peserta seminar menyambut baik putusan-putusan progresif MK ini sebagai momentum emas untuk melakukan penataan sistem pemilu secara menyeluruh.

Namun, ada kekhawatiran bahwa tanpa reformasi di level partai politik, khususnya dalam hal kaderisasi dan pendanaan, perubahan hukum ini tidak akan cukup untuk menghasilkan pemerintahan yang lebih baik dan lebih representatif.

Oleh karena itu, tindak lanjut dari putusan MK ini harus menjadi agenda bersama seluruh kekuatan politik nasional.