Hunian vertikal atau apartemen semakin marak dan digemari sebagai pilihan utama masyarakat perkotaan seiring bertumbuhnya jumlah populasi, tuntutan hidup praktis, efisiensi, dan untuk menghindari kemacetan.
Meski Jakarta masih menjadi pusat bisnis dan keuangan di Indonesia, namun harga jual rerata apartemennya justru bukan yang tertinggi. Apa penyebabnya?
Menurut Co Founder dan Managing Director Lamudi Global, Kian Moini, pasokan apartemen di Jakarta sangat banyak mulai dari kelas bawah, menengah, hingga atas. Oleh karena itu rentang harganya pun demikian luas yakni Rp 14,5 juta per meter persegi hingga Rp 31,3 juta per meter persegi.
“Namun begitu, hal yang sama tidak berlaku bagi apartemen sewa yang berkisar Rp 1 juta per meter persegi per tahun hingga Rp 2,2 juta per meter persegi per tahun,” tutur Moini .
Sementara harga jual rerata tertinggi terdapat di Gianyar, Bali yang mencapai Rp 41,7 juta per meter persegi. Diikuti Semarang di Jawa Tengah, dan Sleman di Yogyakarta yang masing-masing mencatat harga jual rerata Rp 23 juta per meter persegi, dan Rp 23,7 juta per meter persegi.
Tingginya harga jual rerata apartemen di ketiga kawasan itu, kata Moini, karena persediaan atau stok yang siap di pasar sangat sedikit.
Sementara untuk harga jual dan sewa apartemen di luar Jakarta berbeda kondisinya. Kendati begitu, disparitas dan perbedaan ini sudah semakin menipis. Di area Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek) contohnya, umumnya menunjukkan harga jual dan sewa yang lebih rendah dari Jakarta.
Seiring meningkatnya permintaan, harga jual apartemen di area seperti Tangerang Selatan dan Depok mulai menyusul. Masing-masing area menawarkan harga jual rerata senilai Rp 16,7 juta per meter persegi sampai Rp 14,3 juta per meter persegi.