Hadapi Era Disrupsi, Kita Butuh Pemimpin yang Bisa Cerdaskan Bangsa

oleh
oleh -

Opini oleh:
Suarifqi Diantama, M.Pd.
Direktur Bidang Kemahasiswaan
Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Banten

Majalahteras.com – Persoalan pendidikan memang tidak pernah selesai untuk kita diskusikan karena selama ini pendidikan banyak diurus oleh orang-orang yang tidak mengerti pendidikan. Pendidikan adalah tugas utama negara yang tertuang dalam pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa” untuk itu diperlukan orang yang benar-benar mampu untuk mengatasi persoalan pendidikan secara detail.

Kebijakan pendidikan memang tidak terlepas dari proses politik yang dijalankan oleh warga negara terutama ketika presiden maupun kepala daerah yang terpilih harus menempatkan menteri atau kepala dinasnya yang berasal dari masing-masing bekas tim suksesnya.

Kebijakan pendidikan terutama di era otonomi daerah saat ini kerap mengalami miss place, atau miss people karena orang-orang yang menempati posisi strategis untuk mengatasi persoalan pendidikan diduduki oleh orang yang bukandari latar belakang yang paham untuk menyelesaikan persoalan pendidikan.

Sebagai contoh, kasus yang sempat hangat terdengar oleh masyarakat khusunya di daerah Banten bahwa Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Banten menyelenggarakan lomba baca puisi yang digelar untuk memeriahkan Hari Pendidikan Nasional. Dalam perlombaan tersebut pemenang juara 2 lomba baca puisi hanya mendapatkan hadiah yang berisi kain serbet.

Konteks permasalahan tersebut bukan bentuk hadiah yang dipermasalahkan namun pemahaman filososfi pendidikan di kalangan pejabat dan lembaga pemerintah yang masih sangat rendah karena tidak dipegang oleh orang-orang yang benar-benar mengerti betul tentang persoalan pendidikan.

Proses politik yang dihasilkan untuk mengatasi persoalan pendidikan di era otonomi daerah ini sangat sulit untuk dikoreksai sebagai contoh ketika kepala daerah mengangkat kepala dinas pendidikan yang tidak sesuai dengan visi pendidikan siapa yang bisa mengkoreksi?. Instistusi manapun sulit untuk mengkoreksi termasuk DPRD itu sendiri karena yang berhak menentukan posisi-posisi startegis dalam jabatan di pemerintahan daerah hanya bisa ditentukan oleh kepala daerah itu sendiri. Untuk itu kepala daerah jangan main-main untuk menempatkan orang untuk mengatasi persoalan pendidikan.

Pendidikan kita selama ini belum mempunyai roadmap arah kebijakan pendidikan yang jelas untuk 50 maupun 100 tahun ke depan sehingga kebijakan pendidikan selalu di otak-atik oleh rezim penguasa terutama kurikulumnya. Negara Perancis sebagai contoh bahwaflosofi pendidikan Perancis adalah mendidik warga negaranya dalam upaya mempertahankan ide soldaritas.

Baca Juga  Dubes RI Untuk Suriah Beri Kuliah Umum UNSERA

Ide itu berasal dari suatu pengalaman historis rakyat Perancis yaitu revolusi Perancis dimana revolusi Perancis adalah revolusi mental, revolusi sosial, dan revolusi berfikir yang membuat negara perancis berhenti mengkonsumsi filsafat kerajaan. Sehingga negara Perancis memiliki tiga nilai dasar ini sebagai slogan resmi yang selalu dituangkan ke dalam kurikulum pendidikan perancis yaitu liberte (kebebasan), egalite (keadilan), dan fraternite (persaudaraan). Lalu bagaimana dengan arah filosofi pendidikan Indonesia?.

Filsosofi pendidikan yang diajarkan oleh Ki Hajar Dewantara yang menyebutkan bahwa pendidikan bagi setiap orang sangat penting untuk menjadi orang yang berakhlak mulia, bijaksana serta menjadi pemimpin sebaiknya. Seorang yang menjadi pemimpin sebaiknya harus dapat memahami arti dari filosofi pendidikan seperti yang diajarkan oleh bapak pendidikan kita Ki Hajar Dewantara bahwa filosofi pendidikan kita adalah Ing Ngarso Sung Tulhodo “ seseorang pemimpin apabila didepan harus memberi contoh atau panutan bagi yang dipimpin atau warganya atau peserta didiknya”, Ing Madyo Mangun Karso “ seorang pemimpin apabila berada ditengah-tengah harus bisa membangiktkan semangat atau memberi motivasi supaya lebih maju atau lebih baik”, Tut Wuri Handayani “ seorang pemimpin apabila dibelakang harus bisa mendorong masyarakat/yang dipimpin supaya senantiasa lebih maju.

Peluang dan tantangan yang harus dihadapi pemimpin ke depan adalah bagaimana mempersiapkan generasi milenial agar dapat memanfaatkan bonus demografi di era disrupsi ini. Selama ini kita selalu mendengar bahwa Indonesia akan mendapatkan bonus demografi untuk usia angkatan kerja (15-64 tahun) pada 2020-2030 dimana jumlah usia produktif mencapai 180 juta sementara jumlah penduduk non-produktif hanya 60 juta. Dengan adanya kondisi bonus demografi tentu bisa menjadi peluang bagi Indonesia untuk memakmurkan masyarakat apabila masyarakat usia produktif memiliki kualitas sumber daya yang dapat menunjang serta memberikan kontribusi terhadap pembangunan negara.

Lantas bagaimana strategis yang dilakukan untuk mencapai hal tersebut melalui pendidikan? Kosnep kurikulum seperti apa sudah dipersiapkan untuk mendapatkan bonus demograsi tersebut?

Pertanyaan tersebut merupakan perenungan kita bersama untuk mendapatkan jawaban secara seksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Diawal artikel ini telah sepakat bahwa pendidikan adalah tanggung jawab dari kepala negara maupun kepala daerah. Nawacita Presiden harus menjadi arah dalam mengatasi masalah pendidikan di era disrupsi ini. Selama ini Program Nawacita Presiden mengalami disorientasi dalam perjalannnya sehingga proses kebijakan pendidikan tidak jelas mau kemana arahnya.

Baca Juga  Ratusan Guru SD dan SMP Ikut Olimpiade Guru Nasional

Pemerintah terlalu sibuk membangun infrstruktur seperti jalan tol dan pelabuhan namun lupa dalam membangun infrastruktur manusia Indonesianya yang tertuang dalam nawacitanya yaitu program nomor 8 dan 9 berbunyi “(8) melakukan revolusi karakter bangsa melalui kebijakan penataan kembali kurikulum pendidikan nasional dengan mengedepankan aspek pendidikan kewarganegaraan yang menempatkan secara proposional aspek pendidikan seperti pengajaran sejarah pembentukan bangsa, nilai-nilai patriotisme dan cinta tanah air, semangat bela negara dan budi pekerti di dalam kurikulum pedidikan Indonesia. (9) Memperteguh kebhinekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia melalui kebijakan memperkuat pendidikan kebhinekaan dan menciptakan ruang-ruang dialog antar warga negara.

Membangun manusia Indonesia tidak lain melalui jalur pendidikan karena pada hakikatnya pendidikan adalah sarana sentral yang harus dipilih dan ditempuh untuk memperbaiki dan memperkokoh jati diri sebagai bangsa. Pendidikan di era disrupsi arus teknologi dan infromasi harus tetap menegdepankan pendidikan yang humanis. Pendidikan yang humanis yang diajarkan oleh Ki Hajar Dewantara adalah pendidikan yang menekankan pentingnya pelestarian eksistensi manusia dalam arti membantu manusia lebih manusiawi dan berbudaya. Sebagai manusia yang utuh dan mau berkembang harus memiliki daya cipta (kognitif), daya rasa (afektif), dan daya karsa (konatif).

Hal tersebut selaras dengan misi suci Pendidikan Kewarganegaraan yaitu mengembangkan kompetensi kewarganegaraan yang meliputi pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge), keterampilan kewarganegaraan (civic skills), dan watak kewarganegaraan (civic disposition). Ketiga kompetesi warga negara tersebut harus termanifestasikan ke dalam sistem kurikulum nasional. Secara operasional kompetensi pengetahuan kewarganegaraan tersebut dapat dilakukan melalui serangkaian aktivitas akademik dalam pendidikan formal, non formal, dan informal dan kompetensi keterampilan dan watak warga negara dapat dimanifestasikan ke dalam kegiatan ekstrakurikuler atau comunity civics yang sudah memiliki standar kurikulum dalam operasionalnya.

Ketiga komptenesi warga negara tersebut dapat diajarkan sebagaimana diungkapkan oleh Thomas Lickona mulai dari lingkungan keluarga seperti (1) menempatkan pengembangan karakter sebagai prioritas utama, (2) otoriter dalam mengendalikan perilaku menyimpang anak, (3) mencintai anak dengan sepenuh hati,(4) memberikan keteladanan, mengelola lingkungan moral, (5) mengajarkan keputusan yang baik, (6) menciptakan lingkungan yang disiplin secara bijaksana, (7) memecahkan masalah dengan adil, (8) memberikan kesempatan untuk mempraktikkan kebijakan, (9) mendorong pengembangan spiritual, (10) membangun kemitraan yang kuatantara sekolah dan rumah, serta (11) berbicara dengan anak tentang seks, cinta, dan karakter.

Baca Juga  HM PVTE Untirta Gelar Expo Digitalyx

Menciptakan ruang kelas yang berkarakter dapat dilakukan dengan (1) Membangun ikatan dan model karakter, (2) Mengajarkan akademik dan karakter secara bersamaan, (3) Mempraktikkan disiplin berbasis karakter, (4) Mengajarkan tata cara yang baik, (5) Mencegah kenakalan teman sebaya dan mengedepankan kebaikan, (6) Membantu anak-anak bertanggung jawab untuk membangun karakter mereka sendiri. Menciptakan sekolah yang berkarakter dapat dilakukan dengan (1) Membuat sekolah menjadi sekolah berkarakter, (2) Melibatkan para siswa dalam merencakan dan melaksanakan program pendidikan karakter, (3) Menggunakan pertemuan kelas untuk memberikan anak-anak tentang tanggung jawab, (4) Melibatkan para siswa dalam pemerintahan siswa partisipasoris di tingkat sekolah, (5) Menantang para siswa untuk memimpin kampanye di sekolah, (6) Membentuk sistem mentoring, (7) Membentuk klub atau komite karakter, (8) Menghargai kepemimpinan siswa.

Menciptakan komunitas yang berkarakter dapat dilakukan dengan,(1) Memperkuat kemitraan sekolah-komunitas, (2)Memperkuat keluarga, (3) Berkomitmen untuk menjadi komunitas berkarakter, (4) Menciptakan kelompok kepemimpinan, (5) Memberikan pelatihan kepemimpinan, (6) Mendorong kesadaran komunitas akan karakter, (7) Mengintegritaskan karakter ke dalam seluruh program komunitas, (8) Menciptakan peranan khusus bagi polisi, (9) Memberikan anak-anak peran kepemimpinan, (9) Menghargai karakter yang baik, (10) Meminta para relawan komunitas untuk mengajarkan karakter di sekolah.

Proses kegiatan akademik dan kegiatan ekstrakurikuler akan mengkoneksikan ketiga keterampilan kewarganegaraan tersebut sehingga kelak Indonesia akan menghasilkan manusia yang berakal cerdas baik dari pengetahuan, keterampilan, dan wataknya. Kurikulum bukan hanya sekedar untuk menghasilkan keahlian teknik semata namun juga harus menghasilkan keahlian etis. Sifat kritis dan senese of belong harus dimiliki oleh peserta didik dalam menjawab persoalan bangsa serta dapat memetik nilai bonus demografi tersebut.@IMAN