Jakarta – Hari Film Nasional (HFN) ke-71 di tahun ini bertemakan “100 Tahun Usmar Ismail”, kegiatan ini biasa diperingati setiap 30 Maret yanga mana tanggal itu diambil dari pertama produksi film Darah dan Doa (Long March of Siliwangi) karya Bapak Perfilman Indonesia Usmar Ismail pada tahun 1950.
Film adalah wujud kebudayaan dari suatu bangsa dan negara. Setiap negara di berbagai belahan dunia memiliki karakteristik dan ciri khas film yang diproduksi.
Muhadjir Effendy, Menko PMK mengatakan, film bisa menjadi alat bagi negara-negara dari berbagai belahan dunia menunjukkan wajah kebudayaan, kemajuan, serta kehebatannya ke dunia luar.
Hal itu disampaikannya saat memberikan sambutan dalam acara Penandatanganan Nota Kesepakatan Bersama Antara Lembaga Sensor Film Republik Indonesia (LSF RI) dengan Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta, di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta Pusat, pada Rabu (31/3). Dilansir kemenkopmk.go.id
“Film itu adalah alat paling ampuh untuk mencitrakan sebuah negara itu perkasa dan adidaya ke dunia luar. Negara-negara besar, negara modern itu mengandalkan film sebagai wajah terutama ketika tampil ke dunia luar itu dengan film,” ujar dia.
Lebih lanjut, Menko PMK menjelaskan, sebagian besar negara-negara besar dan negara maju telah memanfaatkan film untuk menunjukkan kebudayaan sampai keperkasaannya. Film tersebut bahkan bisa diakui dan tersebarluas di mancanegara.
Dia mencontohkan, film produksi negara Amerika Serikat memiliki karakteristik film perang untuk menunjukkan kehebatan dan kekuatan. Kemudian, film produksi India identik dengan kebudayaan tari-tarian dan nyanyian, serta film produksi China dan Hongkong mengangkat kebudayaan dan menunjukkan kehebatannya.
Karena itu, Mantan Mendikbud itu mengatakan, untuk menunjukkan bahwa Indonesia itu maju dan memilki kebudayaan yang besar, maka salah satu caranya adalah mengembangkan industri perfilman nasional.
“Kalau kita ingin Indonesia akan menjadi negara besar adikuasa yang kuat jangan lupa film merupakan alat paling efektif untuk itu. Karena itu, semua infrastruktur penopang eksistensi perfilman nasional harus didukung. Tidak boleh diabaikan salah satu darinya. Termasuk Lembaga Sensor Film Nasional ini,” tuturnya.
Menko PMK mengatakan bahwa Indonesia memiliki kekayaan tradisi budaya. Menko PMK menilai bahwa tradisi tersebut dapat dimanfaatkan sebagai karakteristik dan identitas dari film Indonesia, dan hal itu dapat menunjukkan kebesaran dan kehebatan Indonesia di mata dunia luar.
“Menurut saya, sebetulnya (film Indonesia) harus berangkat dari tradisi kita apa, budaya kita yangat kaya keankeragaman budaya itu. Karena itu saya selalu menonton film-film yang memiliki budaya lokal, yang mengandung etnografi, itu tidak ada yang bisa menandingi,” ungkapnya.
“Kalau kita ingin membangun bangsa Indonesia sebagai bangsa yang besar, maka bangunlah perfilman sekarang. Marilah kita bangun perfilman nasional ini demi untuk Indonesia sebagai bangsa yang besar,” imbuhnya.
*LSF RI Harus Aktif dan Paham Film*
Dalam kesempatan itu, Menko PMK berpesan kepada LSF RI sebagai lembaga yang memiliki wewenang terhadap perfilman nasional agar tidak hanya mengurusi urusan sensor film. Tetapi, menurut dia, LSF RI harus aktif dalam menyebarkan nilai-nilai luhur Indonesia seperti terkandung dalam Pancasila.
“Dan saya mohon betul-betul bertindak bukan hanya sebagai tukang potong, tukang larang tukang potong ini, apalagi kalau dipotong alur ceritanya jadi berantakan,” pesannya.
Muhadjir juga menegaskan agar anggota LSF RI memiliki penguasaan yang baik dalam hal perfilman nasional serta memiliki penguasaan terhadap perfilman Internasional.
“Seorang anggota lembaga film harus ahli bidang perfilman. Penguasaan literatur berkaitan dengan perfilman dari berbagai macam belahan dunia itu penting untuk referensi untuk benchmarking (tolak ukur) agar kita bisa mengawal perkembangan film nasional kita,” tegasnya.
“Sekali lagi. Marilah kita bangun perfilman nasional ini demi Indonesia sebagai bangsa yang besar,” pungkas Muhadjir Effendy. (*/cr7)