Majalahteras.com – Siapa yang suka memakan buah ciplukan? Rasanya kecut-manis, berwarna hijau-kuning, dan dibungkus kulit tipis. Buah ini dulu dikenal sebagai tanaman liar, tak punya nilai jual, dan dianggap hama. Namun kini, ia seakan naik kasta.
Ciplukan atau Physalis angulata L. lazim tumbuh di kebun, tegalan, tepi jalan, semak, atau hutan. Buah ini juga dikenal dengan sebutan morel berry di Inggris, ceplukan di Jawa, cecendet di Sunda, keceplokan di Bali, dan leletokan di Minahasa. Meski dulu hanya dikenal sebagai mainan anak-anak, kini ciplukan digemari dan dijual dengan harga tinggi.
Ia hadir di toko-toko buah besar, pasar swalayan, dan dijual online. Satu kemasan isi 100 gram dihargai Rp30 ribu. Harga jual per kilogramnya berkisar Rp250-500 ribu. Akibat harganya yang melangit, Juwita (27), salah satu pengusaha ciplukan mengaku meraup untung besar.
Usahanya dirintis sejak 2015 di Sumedang. Tahun itu ia terlebih dulu melakukan riset penanaman untuk menghasilkan kualitas buah premium. Penanaman pertama dimulai dengan lima biji ciplukan. Jumlah tersebut terus bertambah hingga mencapai tiga ribu pohon.
“Dari lima berkembang sepuluh, seratus, tiga ratus, delapan ratus, tiga ribu,” katanya kepada Tirto, Jumat (18/8/2017).
Juwita bercerita, usahanya tak langsung berbuah manis dan sempat pasang surut. Pada tahun 2016, ia lebih dulu menjajakan ciplukan di salah satu pasar daerah Sumedang. Tapi sama sekali tak laku, padahal harga jualnya masih Rp5000 per 120 gram. Enam kali lebih murah dibanding harga saat ini.
Saat itu, per bulan, ia hanya mendapat laba sebesar Rp100 ribu. Tak patah arang, wanita ini mencoba peruntungan dengan berjualan online. Ciplukannya dijual seharga Rp150 ribu per kg. Sembari berjualan, Juwita memberi pemahaman tentang manfaat dan rasa ciplukan kepada calon pembeli.
“Itu perlu sebagai branding, sebab awalnya tidak laku karena orang belum tahu manfaatnya,” kata Juwita.
Dua tahun berjualan dan mengedukasi pembeli, Juwita untung besar. Kini, ia terus melakukan beragam inovasi produk ciplukan, misalnya sari buah ciplukan, kismis ciplukan, selai, dan saos ciplukan. Juwita juga melebarkan sayap sebagai pemasok ciplukan di hampir semua supermarket di Jakarta.
“Saya sudah bisa kantongi laba Rp30 juta per bulan, salah satunya dengan memasok ke Rezeki Market, All Fresh, Total Buah, Jakarta Fruit, dan Koki Mart,” akunya.
Kandungan Ciplukan
Bukan tanpa alasan Juwita menjual ciplukan. Dulu, teman ayahnya menderita parkinson, yaitu degenerasi sel saraf pada otak yang membuat penderitanya mengalami tremor atau gemetaran. Sejak mengkonsumsi jus ciplukan, tremornya mereda.
Pengalaman lain juga dialami sang ayah yang menderita kolesterol. Kakinya sempat bengkak besar hingga tak bisa berjalan. Berkat rutin memakan ciplukan, bengkaknya perlahan kempes. Sejak itu, tekadnya makin kuat untuk memasarkan si buah kaya manfaat.
“Warga di sini juga suka mengonsumsi ciplukan untuk penangkal flu dan batuk,” ujarnya.
Sejatinya, ciplukan adalah buah asli Amerika yang tersebar luas di daerah tropis dunia. Buah kaya manfaat ini biasa tumbuh di daerah dengan ketinggian antara 1-1550 mdpl. Penelitian lebih lanjut mengenai manfaat ciplukan dilakukan Mahalakshmi AM dan Ramesh B. Nidavani dalam Indo American Journal of Pharmaceutical Research, 2014.
Ciplukan mengandung banyak zat bermanfaat, di antaranya karbohidrat, lipid, mineral, dan vitamin. Masyarakat biasa memanfaatkan daunnya secara tradisional untuk melawan radang kandung kemih, limpa dan hati. Mandi dengan air rebusan tanaman ciplukan baik untuk untuk meredakan peradangan pada kulit serta rematik.
Ada juga yang menggunakannya dalam pengobatan tradisional untuk mengatasi hepatitis, sakit tenggorokan, sakit perut, malaria, asma, ginjal, kandung kemih, penyakit kuning, asam urat, dan demam. Sementara, buahnya digunakan untuk mengobati bisul, luka, konstipasi, dan masalah pencernaan.
Di lembah Amazon, masyarakat menggunakan jus ciplukan sebagai obat penenang, depuratif (pembersih darah), anti-rematik, dan meredakan sakit telinga. Di Taiwan, ciplukan digunakan sebagai obat tradisional diabetes, hepatitis, asma, dan malaria. Penduduk pedesaan di Peru menggunakan daunnya untuk penyakit hati, malaria, dan hepatitis. Dan di Afrika Barat, mereka percaya ciplukan bisa menyembuhkan kanker.
Apakah semua khasiat itu bisa dijelaskan secara ilmiah? Menurut Mahalaksmi A.M. dan Ramesh Nivadani, berbagai studi dan penyelidikan menunjukkan bahwa ciplukan terutama terlibat dalam efek imunologis (sistem imunitas tubuh). Ia menjanjikan bagi gangguan-gangguan (penyakit) yang terkait dengan sistem kekebalan tubuh. Tentu tak semua penyakit yang disebutkan di atas termasuk ke dalam kategori ini.
Penelitian Maya Fitria dkk juga menunjukkan hal yang menggembirakan. Peneliti mengeringkan ciplukan dan mengekstraksinya dengan etanol 70 persen. Hasilnya, ekstrak ciplukan tersebut memberikan dampak positif dan mampu menginduksi apoptosis (kematian) pada sel kanker payudara. Lagi-lagi, temuan ini juga tentu perlu penyelidikan lanjutan untuk bisa dikembangkan menjadi salah satu terapi kanker yang diakui. (net/jems)