PWI Banten Bersatu
Angka satu jadi obsesi bagi PWI Provinsi Banten khususnya, terutama setelah sukses Kongres PWI Bersatu, akhir Agustus 2025 lalu. Kongres ini dibangun atas “fondasi” kesepakatan-kesepakatan bersama, biar pun istilah kongres bersatu tak akan dijumpai dalam AD/ART PWI.
Semua sudah final dan berlalu. Semua sepakat, PWI jadi satu lagi setelah terbelah kembar nyaris setahun sebelumnya. Jadinya, bersatu atau persatuan jauh lebih penting dari sekadar pasal demi pasal atau ayat demi ayat PD/PRT.
Kongres untuk menata dan menyatukan hati. Sebuah nasihat dari seorang sahabat Nabi Muhammad SAW, Ibnu Mas’ud RA, “Kamu jangan berbeda, nanti hatimu pun akan berbeda”. Nasihat itu benar, dan dialami dua kelompok besar anggota PWI yang pernah berbeda jalan.
Bersatu, Deklarasi Kota Cilegon
Masih ada pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Persatuan itu harus sampai pula menembus ke daerah, provinsi dan kabupaten/kota. Ketua PWI Provinsi Banten, Rian Nopandra, mengakui hal itu.
Namun, baginya, penyelesaian lebih ringan, karena induk PWI sudah bersatu. Tinggal menyelesaikan di tngkat dahan dan ranting. Sekarang ini, pohonnya sudah satu, satu PWI Pusat.
“PWI di kabupaten/kota dalam Provinsi Banten segera bersatu. Semua siap menyukseskan HPN 2026, sebagaimana hasil kesepakatan rapat di Journalism Boarding School Kota Cilegon,” kata Rian.“Ini Deklrasi Bersatu Kita bersatu.Kita sepakat menindaklanjuti hasil Kongres PWI Bersatu dengan bersatunya PWI di Provinsi Banten, ” kata Rian pula.
Si Cula Satu
PWI Provinsi Banten mengusulkan badak bercula satu jadi maskot HPN 2026. Maskot ini dinilai pas, khas, dan pantas, antara lain, karena jadi simbol persatuan. PWI jadi satu lagi, diwujudkan dalam simbol satu yang diadopsi dari badak bercula satu.
Ketua PWI Provinsi Banten, Rian Nopandra, mengakuinya. “Persatuan kita wujudkan dalam simbol cula satu. Juga, isyarat satu rasa, satu suara, dan satu usaha menyukseskan HPN 2026 di Provinsi Banten,” kata Rian.
Gagasan badak bercula satu berasal dari pemikiran para anggota PWI Provinsi Banten sendiri. Pemerintah Provinsi Banten dan PWI Pusat sepakat, badak bercula satu jadi maskot HPN 2026 , seperti kata Rian.
Lomar Badui
Maskot badak bercula satu, diposisikan berdiri, dan dengan wajah senyum ceria. Kepala badak diikat lomar, ikat kepala atau penutup kepala khas masyarakat adat Badui Luar, berwarna biru tua. Ikat kepala atau penutup kepala masyarakat Badui Dalam berwarna putih. Juga, baju putih. Masyarakat Badui Luar berbaju hitam.
Lomar itu sendiri sebenarnya praktis. Aksesoris tradisional dari kaki Gunung Kendeng ini bisa pula jadi syal, blankon, udeng, atau totopong. Pokoknya, jadi ikat kepala atau penutup kepala khas tradisional dengan segala variasinya.
“Baik badak maupun lomar merupakan kekayaan lokal yang me-nasional dan bahkan sebenarnya sudah go international,” kata Sekretaris PWI Provinsi Banten, Fakhdi Khalid..
Masyarakat Badui Luar dan masyarakat Badui Dalam memang berbeda dalam berbusana, juga dalam kehidupan sehari-hari. Masyaraat Badui Dalam lebih longgar, misalnya, sudah boleh naik kendaraan dan beralas kaki.
Meski keduanya berbeda, tetapi masyarakat Badui ada dalam kesatuan “akidah”, yakni sama-sama memeluk aliran kepercayaan Sunda Wiwitan. Mereka bukan “dualisme” Badui, melainkan dua “kamar” dalam satu rumah Desa Kanekes. Mereka adalah dua hal yang hanya bisa dibedakan, tetapi tak bisa dipisahkan.
Badui Luar “berkiblat” ke Badui Dalam. Badui Luar iu boleh pula disebut sebagai “filter” untuk menjaga kemurnian adat istiadat Badui Dalam. Intoruduksi dan ruh serta pengaruh yang datang dari luar tak boleh masuk begitu saja merambah wilayah “sakral” Desa Kanekes. (Dean Al-Gamereau).