Hari itu pleno Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan dan mengumunkan hasil perhitungan final Pilpres 2014.
Rumah Polinia membuat pengumuman penting : Ketua Tim Pemenangan Nasional (TimKamNas) Prabowo-Hatta beralih dari Bapak Prof. Dr. Mahfud MD kepada Bapak Letjen TNI (Purn) Yunus Yosfiah.
Pak Mahfud berpendapat sudah melaksanakan tugas dengan baik ssbagai Ketua TimKamNas dan tidak elok sebagai Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi memimpin sengketa Pilpres di Mahkamah Konstitusi. Penulis sependapat.
Beberapa saat setelah Pak Mahfud MD ditetapkan sebagai Ketua TimKamNas Prabowo-Hatta, penulis ditetapkan oleh Pak Mahfud MD sebagai Deputi Program Pemenangan TimKamNas. Sehingga penulis ikut dalam rapat untuk menentukan langkah yang akan diambil kedepan pasca penetapan dan pengumuman KPU tersebut.
Rapat dipimpin Ketua TimKamNas yang baru, Bapak Yunus Yosfiah. Perdebatan sangat sangat sengit dan argumentatif namun tidak emosional. Masing-masing diberi kesempatan menyampaikan argumentasinya.
Capres dan Cawapres tidak hadir dalam rapat tersebut dan menyatakan akan mengikuti keputusan yang diambil rapat.
Seingat penulis yang hadir diantaranya Jenderal TNI (Purn) Djoko Santoso, Jenderal TNI (Purn) George Toisutta, Dr. Magdil Ismail, Ali Muchtar Ngabalin (ingat-ingat lupa), dan lain-lain
Saat menyampaikan pendapat maupun saat diskusi, untuk tidak menyebut debat, penulis sangat menekankan bahwa langkah apapun yang akan diambil haruslah langkah yang konstitusional dan sesuai hukum.
Salah satu yang diumumkan saat menutup rapat oleh Ketua TimKamNas, Bapak Yunus Yosfiah, adalah penulis mulai hari itu ditugaskan menjadi Asisten Jenderal TNI (Purn) Djoko Santoso yang mantan Panglima TNI dan Jenderal TNI (Purn) George Toisutta yang mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat sampai hasil Pilpres final dan mengikat.
Membayangkan saja penulis tidak pernah akan mendapat tugas ini, jadi tidak salah kalau pembaca ada yang berfikiran kalau lutut penulis gemetaran mendengar pengumuman itu, memang demikian adanya.
Sebelum penulis sepat menjawab, terdengar suara “Jawab, Siap”. Penulis menoleh ternyata itu suara Jenderal TNI (Purn) George Toisutta yang sedang memandang penulis. Seketika penulis menjawab “Siap”.
Dikemudian hari baru penulis mendapat jawaban kenapa penulis diberikan tugas tersebut. Ternyata Pak Djoko Santoso dan Pak George Toisutta bersepakat meminta kepada pemimpin rapat agar menugaskan penulis menjadi asisten beliau berdua sampai selesai proses persidangan di Mahkamah Konstitusi.
Beliau berdua sependapat dengan jalan dan basis argumentasi yang penulis sampaikan selama rapat berlangsung.
Penulis berpendapat bahwa proses Pilpres adalah proses politik kenegaraan yang diikuti oleh para negarawan sejati pilihan. Sehingga kalau ada sengketa, baik terkait proses maupun hasil, haruslah diselesaikan dengan cara-cara kenegarawanan juga.
Begitulah cara paling elegan kita mencintai negeri ini yang didapat melalui tumpahan lautan darah dan keringat para pejuang lintas generasi selama berabad-abad.
Jalan kenegarawanan itu adalah menerima hasil Pilpres yang telah diumumkan KPU dan memberi ucapan selamat kepada pasangan Capres-Cawapres yang memenangkan kontestasi atau mengajukan gugatan kepada Mahkamah Konstitusi jika memiliki cukup bukti dan alat bukti untuk mendukung dalil bahwa telah terjadi pelanggaran hukum selama proses Pilpres.
Sebuah pelanggaran tidaklah dapat dikatakan pelanggaran jika tidak ada cukup bukti dan alat bukti untuk membuktikan dalil tersebut. Dan negarawan sejati yang mencintai Indonesia dan masyarakatnya akan mengatakan tidak ada pelanggaran dalam situasi seperti itu.
Persoalan bukti dan alat bukti yang mendukung dalil kita diterima atau ditolak biarlah itu menjadi kewenangan para negarawan yang bernama Hakim Mahkamah Konstitusi untuk menilai dan memutus berdasarkan fakta-fakta persidangan nanti.
Jikapun kalah dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi tidaklah sedikitpun menurunkan derajat kenegarawanan Capres dan Cawapres yang mengajukan sengketa.
Mulailah semenjak itu penulis menjalankan tugas sebagai Asisten dari dua Jenderal hebat yang dimiliki negeri ini dengan karakteristik berkomunikasi yang khusus dan spesifik juga.
Jenderal Djoko tidak pegang handphone. Seluruh komunikasi melalui handphone yang dipegang ajudan beliau. Jenderal Tosutta pegang sendiri hanphone. Komunikasi kapan saja harus siap.
Tugas penulis selesai dengan keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi tentang sengketa Pilpres 2014. Penulis mendengarkan pembacaan Putusan MK tersebut di Rumah Polonia bersama Jenderal Toisutta. Sementara Jenderal Djoko Santoso menemani Pak Prabowo di suatu tempat di Jakarta.
Semenjak itu penulis hanya sering kontak dengan Jenderal Toisutta sampai akhir hayatnya. Beliau sering kirim japri melalui WA ke penulis namun isinya lebih banyak tentang keagamaan, tentang amalan-amalan zikir dan semacamnya.
Beliau sering mengingatkan penulis untuk selalu memegang omongan penulis saat rapat yang membuat beliau meminta penulis menjadi asisten beliau dan Pak Djoko Santoso.
Semoga dilapangkan kubur beliau dan kelak dimasukan kedalam surga oleh Allah SWT. Penulis bersaksi beliau negarawan sejati dan orang sholeh.
Sementara dengan Jenderal Djoko Santoso penulis hampir tidak pernah berkomunikasi kecuali jika bertemu langsung.
Terakhir pernah ketemu pada suatu acara, saat penulis sedang dalam proses fit and proper test sebagai Calon Anggota Komisi Informasi Pusat tahun 2017 silam. Penulis laporkan ke beliau. Singkat namun penuh keyakinan gaya seorang Panglima beliau bilang, insya Allah masuk.
Minggu pagi, tanggal 10 Mei 2020, bertepatan dengan tanggal 17 Romadhan 1441 H, Jenderal TNI (Purn) Djoko Santoso telah dipanggil menghadap Allah SWT.
Beliau adalah patriot sejati dan negarawan sejati bangsa ini. Penulis juga meyakini beliau orang sholeh. Semoga beliau husnul khotimah, dijadikan kuburnya taman-taman surga, dan diampuni segala dosanya, amiin
Terima kasih Jenderal berdua. Terima kasih atas pengajarannya selama beberapa saat waktu itu. Pengajaran Jenderal berdua tentang bagaimana mencintai negeri ini, Indonesia, insya Allah akan senantiasa aku ingat dan wariskan kepada anak cucuku.
Penulis : Hendra J Kede, Wakil Ketua Komisi Informasi Pusat RI