Kenaikan PPN 12 persen yang berlaku tepat 1 Januari 2025, sejatinya adalah produk politik PDI-P. Sebagai partai berkuasa, kehendak PDI-P untuk menaikkan PPN menjadi 12 persen di tahun 2025, jelas sebuah prestasi guna menaikkan APBN. Sayangnya, setelah rakyat menolak, PDI-P seperti balik badan. Bahkan terkesan “lempar batu sembunyi tangan”.
Publik yang sudah paham “akal bulus PDIP” dengan drama-drama politiknya sudah tidak mudah lagi tertipu. Sebab jejak digitalnya sangat jelas. Putusan kenaikan PPN 12 persen yang diketok tahun 2021, dan itulah tahun-tahun kejayaan PDI-P.
Alih-alih meminta maaf ke masyarakat, malah terkesan menuduh Prabowo sebagai biang keladi kenaikan PPN 12 Persen. Wajar jika publik ikut bersuara membuka kedok politik PDI-P. Ahmad Kailani, Ketua Umum DPP Perisai Prabowo menganggap nasib PDI-P dalam merespon PPN 12 persen kelak bak pepatah; “menepuk air didulang terkena muka sendiri”.
Menurut Ahmad Kailani di era digital ini masyarakat sudah cerdas, mana drama mana fakta. Masyarakat kini sudah muak dengan drama-drama PDI-P. Faktanya, menurut Kailani sangat jelas terjadi di dalam Pilpres dan Pilkada.
Masyarakat sudah menghukum PDI-P bukan hanya sekali tetapi berkali-kali dengan kalahnya calon-calon mereka baik di Pilpres maupun Pilkada. “Karena itu saatnya PDI-P memberi pendidikan politik ke masyarakat bukan dengan drama tetapi fakta dan etika”, jelas Kailani.
Menurut Ahmad Kailani, di era digital juga etika tidak akan pernah hilang dalam politik. Dan salah satu bentuk etika tertinggi dalam politik adalah meminta maaf. “Ketika regulasi yang dibuat memberatkan rakyat, maka partai tidak boleh sungkan dan malu untuk meminta maaf kepada rakyat.
Dan Kata-kata maaf ini, menurut Kailani akan terekam abadi di jejak digital dan semua orang yang membaca dan menonton videonya akan memberi hormat setinggi-tinggi kepada PDI-P. Dan inilah pendidikan politik yang sangat berharga buat masa depan bangsa”.
Namun dirinya sedih dan kecewa saat mendengar respon PDI-P seperti yang disampaikan Rieke Dyah Pitaloka. Alih-alih meminta maaf, PDI-P malah berusaha mencari kambing hitam. Padahal menurut Kailani, untuk menyampaikan permohonan maaf sangat mudah.
“Kan Juru bicara partai tinggal bilang, karena PPN 12 persen yang akan berlaku pada 1 Januari 2025 saat ini sangat memberatkan ekonomi rakyat maka kami selaku penguasa yang membuat regulasi itu akan berjuang untuk mencabutnya”. Dengan cara ini, hampir pasti rakyat akan menaruh simpati pada PDI-P. Jelasnya
Berdasarkan pengamatannya, Kailani menyimpulkan bahwa :
Pertama, penetapan PPN 12 persen yang berlaku pada 1 Januari 2025 adalah produk politik kekuasaan PDI-P. Maka baik-buruknya sebuah regulasi di masyarakat harus menjadi
tanggungjawab politik partai berkuasa. Karena itu, PDI-P harus meminta maaf atas regulasi yang dibuatnya kepada rakyat, bukan membuat drama atau mencari kambing hitam untuk menutup muka.
Kedua, pemerintah yang baik adalah pemerintahan yang tunduk pada undang-undang. Karena itu sejauh sebuah aturan tidak dicabut atau diganti maka wajib bagi pemerintahan untuk taat dan patuh pada aturan tersebut. Dalam soal penghormatan atas Undang-undang Komitmen Prabowo sangat tinggi, jadi PDI-P harus berinisiatif mengusulkan regulasi baru.
Ketiga, dalam sebuah kebijakan, jalan tengah menjadi pilihan terbaik mengingat konteks pembuatan regulasi termasuk kenaikan PPN 12 persen, sangat bergantung pada kemampuan ekonomi masyarakat. Karena itu, jalan tengah untuk menerapkan PPN 12 persen secara selektif menjadi pilihan yang terbaik, agar masyarakat yang tidak mampu mendapat instentif melalui penerapan PPN 12 persen bagi yang mampu.