Adu Kuat Jenderal Naga Bonar Vs Meikarta

oleh
oleh -

Oleh: Hersubeno Arief

 

Perseteruan Pemprov Jawa Barat (Jabar) dengan pengembang kota Meikarta, kian sengit. Wakil Gubernur Jabar Deddy Mizwar (Demiz) secara tegas meminta agar pembangunan dan penjualan  kota di kawasan Cikarang, Bekasi itu dihentikan.

Demiz menilai penjualan besar-besaran apartemen oleh Meikarta, sebagai tindak kriminal, menjual barang ilegal. Barang belum berizin kok sudah dipasarkan?

Ini bukan peringatan pertama dari Demiz kepada Lippo Group pengembang Kota Meikarta. Akhir Mei lalu pemeran Jenderal Naga Bonar itu bersuara sangat keras dan menuding Lippo ingin membangun negara dalam negara.

Sebagai penguasa daerah, Pemprov Jabar sangat kaget ketika mendapati pengembang Lippo mengumumkan  membangun sebuah kota baru, padahal Pemprov belum pernah memberikan izin. Demiz menjadi lebih terkejut lagi ketika mendapati Lippo telah melakukan promosi dan penjualan besar-besaran.

Tak lama setelah peringatan keras tersebut, Presiden Komisaris Lippo Theo Sambuaga dan Presiden Direktur Meikarta I Ktut Budi Wijaya menemui Demiz di kantornya, Gedung Sate, Bandung. Seusai pertemuan, dengan mengutip Theo,  media ramai-ramai memberitakan bahwa Demiz mendukung pembangunan Kota Meikarta. Jadi pembangunan terus berlanjut.

Berita tersebut agak janggal. Media tidak ada yang mengutip pernyataan Demiz. Kejanggalan berikutnya bagaimana mungkin sikap Demiz cepat berubah? Dari menentang keras, menjadi mendukung?

Kendati senang bercanda, atau kata orang sunda ngabodor, Demiz dikenal sebagai pribadi yang teguh dan tegas ketika berurusan dengan masalah-masalah prinsip.

Dengan munculnya peringatan keras agar Lippo segera menghentikan sementara pembangunan Meikarta, duduk persoalannya menjadi terang benderang. Berita hasil pertemuan Lippo dengan Demiz sengaja diplintir media.

Tak ada dukungan dari Pemprov Jabar. Yang ada Lippo malah diminta mentaati aturan. Mengurus perizinan terlebih dahulu, apakah sudah sesuai dengan Rancangan Umum Tata Ruang (RUTR) yang master plan-nya telah dibuat oleh Pemprov Jabar,  baru boleh membangun.

Dapat dibayangkan jika semua pengembang besar bisa seenaknya membangun kota tanpa mengindahkan RUTR.  Meminjam kata yang sering diucapkan Naga Bonar “Apa kata dunia?”

 

Penjualan Jalan Terus

Seperti bunyi pepatah “Anjing menggonggong, kafilah berlalu,” penjualan kota  yang diklaim akan memiliki infrastruktur terlengkap di Asia Tenggara itu terus berjalan, bahkan sangat massif. Iklan media cetak, online, radio,  televisi Meikarta bertebaran hampir di semua media.

Kemanapun kita pergi seolah sudah di kepung oleh promosi proyek terbesar sepanjang sejarah Lippo berdiri itu. Mereka tak membiarkan sedikitpun celah maupun ruang yang kosong.

Baca Juga  Puluhan Napi Lapas Kelas I Tangerang Terima Remisi Khusus Hari Raya Waisak 2568 BE Tahun 2024

Di berbagai media cetak nasional iklannya tidak tanggung-tanggung, sampai lima halaman berwarna, dalam beberapa kali penerbitan. Di media online mereka memasang iklan banner dalam ukuran besar yang langsung muncul ketika kita membuka situsnya.

Di televisi,  iklan Meikarta menggambarkan sebuah kontras antara kota lama (Jakarta) yang macet, penuh aksi kejahatan, dengan sebuah kota baru yang modern, nyaman dan warganya sangat bahagia. Iklan tersebut diberi judul “Aku akan pindah ke Meikarta.” Sungguh menggoda.

Hampir semua media mainstream kecipratan, atau bahkan basah kuyup diguyur oleh iklan kota Meikarta.

Pemasaran Meikarta juga sangat-sangat agresif. Mereka membuka booth/stand pemasaran di berbagai titik yang sangat strategis. Di Jakarta malah terdapat stand pemasaran mereka di halaman masjid.

Mereka juga mempunyai data nomor telfon pelanggan beberapa operator seluler dan secara gencar mereka tawari apartemen di Meikarta. Anda mungkin salah satu diantaranya yang pernah atau beberapa kali menerima SMS atau brosur dalam bentuk Pdf dari  tenaga pemasarnya. Tidak perlu kaget, tapi  sebel sih boleh. Data pelanggan operator memang banyak diperjualbelikan secara tidak bertanggung jawab.

Pada penjualan perdana 13 Mei lalu Meikarta mengklaim berhasil menjual 16.800 unit. Penjualan perdana tersebut,  katanya memecahkan rekor, sehingga mendapat penghargaan dari Musium Rekor Indonesia (MURI).

Bagi Anda yang aktif bergerak di properti, strategi penjualan semacam ini tidak terlalu mengagetkan, apalagi kagum. Sudah biasa penjual properti memasang tanda “sold out” pada produknya, walaupun sebenarnya belum ada yang membeli. Targetnya mempengaruhi psikologi peminat, agar cepat membeli karena takut tidak  kebagian.

Anda pasti belum lupa strategi pemasaran yang dilakukan oleh produsen donut beberapa tahun lalu.  Ketika mereka membuka gerainya di beberapa mall di Jakarta, langsung diserbu antrian panjang. Menariknya yang mengantri kebanyakan wanita cantik berpenampilan seperti model. Siapa yang tidak tergoda untuk ikut antri membeli?

Itu adalah salah satu bentuk strategi word of mouth. Pemasaran dari mulut ke mulut yang dalam era sosial media efeknya menjadi berganda. Bentuknya berubah menjadi WA to WA, Line to Line, atau apapun nama platform sosmednya.

Baca Juga  Kementrian ATR BPN Menyetujui Revisi Perda RTRW Pandeglang Dalam Bentuk Surat Persetujuan Subtansi

Masalahnya seperti kata Demiz, penjualan Meikarta illegal, karena belum ada izinnya.  Bisa dibayangkan bagaimana nasib ribuan pembeli, bila sampai pembangunannya batal.

Soal lain yang harus diwaspadai oleh para pembeli, kalau toh pembangunan berlanjut,  adalah akses ke kota tersebut.

Meikarta mengklaim akan terhubung dengan berbagai moda transportasi modern yang kini tengah dibangun pemerintah,  seperti pelabuhan laut dalam Patimban, Bandara internasional Kertajati, Kereta api cepat Jakarta-Bandung dan Jakarta-Cikampek Elevated Highway.

Dari keempat moda transportasi tersebut hanya  kereta api cepat Jakarta-Bandung yang benar-benar langsung terkoneksi dengan  Meikarta.  Salah satu transit oriented development (TOD) –semacam stasiun/terminal terpadu– kereta api cepat menempel langsung dengan proyek Meikarta. Moda transportasi ini menjadi andalan dan jualan utama kota baru milik taipan James Riady itu.

Presiden Jokowi  meresmikan proyek kereta api cepat yang akan dibangun konsorsium Cina dan BUMN pada Januari 2016. Hampir dua tahun berjalan, tak ada kegiatan signifikan yang menunjukkan bahwa proyek tersebut berjalan sesuai yang direncanakan.

 

Tanda-tanda proyek senilai Rp 70 triliun akan batal kian menguat, ketika Jokowi minta agar porsi saham BUMN dikurangi secara drastis.   Semula pembagian porsinya 60% untuk BUMN dan Cina  40%. Namun kini Jokowi minta porsi BUMN diperkecil hingga tinggal 10%.

Jika proyek kereta api cepat batal, maka moda transportasi yang diandalkan Meikarta tinggal jalan tol Jakarta-Cikampek. Bisa dibayangkan seperti apa beratnya beban tranportasi di ruas itu, bila ditambah dengan hadirnya kota baru yang rencananya bisa menampung 2 juta penduduk. Mimpi indah pembeli, bisa berubah menjadi mimpi buruk. Soal ini harus benar-benar dipertimbangkan.

 

Data dari Jasa Marga menunjukkan, lalu lintas harian jalan tol Jakarta-Cikampek mencapai 590 ribu kendaraan. Rasio kendaraan dan kapasitas jalan sudah mencapai 1.3 atau jauh di atas posisi ideal 0.75. Jumlah tersebut akan meningkat drastis pada hari-hari libur atau akhir pekan.

 

Mengulang Kasus Reklamasi

Pola pembangunan Meikarta ini mengingatkan kita kepada  reklamasi Pantai Utara Jakarta. Izin belum keluar, pengembang sudah membangun dan bahkan memasarkan unit apartemennya di luar negeri, terutama Cina. Prinsipnya “bangun dan jual dulu,” soal izin menyusul kemudian.

Penyelesaiannya bisa dipastikan akan melibatkan tarik menarik kepentingan, adu kuat pengaruh, tekanan dari LSM,  lobi-lobi politik dan pembentukan opini publik melalui media.

Baca Juga  Rutan Bangil Penuhi Persyaratan Ijin Khusus Warga Binaan Untuk Melayat Kepada Keluarga Inti Yang Meninggal Dunia

Tak lama berselang setelah pernyataan keras Demiz, DPRD Jabar melakukan sidak ke proyek Meikarta. Hasilnya Ketua DPRD Jabar Ineu Purwadewi Sundari menyatakan tidak ada kejanggalan. Menurut wakil rakyat dari PDIP pembangunan Meikarta sudah sesuai aturan.

 

Anehnya beberapa anggota Komisi IV yang menyertai Ineu dengan tegas menyatakan Lippo melanggar aturan. Wakil Ketua Komisi IV Daddy Rohanady (Gerindra) meminta agar pembangunan dihentikan terlebih dahulu, sampai seluruh perizinan dikantongi.

Dua hari kemudian Ineu menegaskan DPRD meminta agar pembangunan kota Meikarta dihentikan. “Sampai mereka selesai membereskan perizinan mulai dari izin mendirikan bangunan (IMB), izin amdal, izin pemanfaatan lahan dan lain-lain,” tegas Ineu.  Apakah Ineu yang mengubah pernyataannya, atau lagi-lagi media memlintir pernyataan Ineu? Ada yang coba bermain.

Pembangunan sebuah kota memang harus mempertimbangkan banyak aspek. Bukan asal sekedar punya duit besar,  bisa membangun. Pertimbangannya meliputi aspek sosial, budaya, lingkungan, ekonomi, kependudukan, kesehatan, keamanan dan berbagai aspek lainnya.

Belajar dari kasus reklamasi Pantai Utara Jakarta faktor politik juga sangat berpengaruh pada kelanjutan sebuah proyek. Apalagi bila sejak awal proyek tersebut diwarnai kontroversi.

Proyek reklamasi yang sepenuhnya didukung oleh pemerintah pusat dan Pemprov DKI semasa Ahok menjadi gubernur, terancam batal. Gubernur terpilih Anies Baswedan yang didukung sejumlah elemen masyarakat bertekad menghentikan proyek tersebut.

Potensi proyek Meikarta juga akan terhenti seperti  proyek reklamasi Pantai Utara Jakarta, sangat besar. Apalagi  bila Demiz terpilih kembali sebagai Gubernur Jabar pada Pilkada 2018. Demiz bisa menjadi ancaman.

Sebagai kelompok usaha yang sangat berpengalaman dalam berbagai proses lobi-lobi politik, Lippo pasti akan dengan cermat melakukan kalkulasi baik secara politis maupun bisnis. Siapa yang akan terpilih menjadi gubernur Jabar akan sangat menentukan kelangsungan proyek senilai Rp 278 triliun itu.

Sekarang tinggal adu kuat antara Jenderal Naga Bonar melawan Meikarta. Apakah Demiz akan bertindak lebih keras  dengan melakukan penyegelan dan penghentian paksa, atau Lippo yang mengalah mengurus perizinan dan melakukan penyesuaian dengan RUTR Pemprov Jabar.

Lippo kemungkinan besar akan menerapkan strategi wait and see, sambil menunggu arah angin politik di Jabar berubah atau mereka bisa ubah, menjadi lebih bersahabat. end

Jkt 7/8/2017