Abdul Malik: Perlu Kedepankan ‘Politik Akhlaki’

oleh
oleh -

Majalahteras.com – Dalam menghadapi gejolak politik yang terjadi di Indonesia, bukan lagi politik simbolik yang dikedepankan, tetapi politik akhlaki, yakni simbol-simbol yang menitikberatkan pada perilaku berpolitik santun dan bermartabat. Hal ini dikatakan oleh Wakil Rektor 1 dan Dekan FISIP Universitas Serang Raya (Unsera), Abdul Malik, pada acara Diskusi dan Deklarasi Pemuda se-Provinsi Banten. (Kamis (15/11/2018).

Diskusi yang dihelat di Rumah Makan “S” Rizki Serang ini bertajuk “Pemuda Menyongsong Pemilu 2019 yang Aman, Damai, Sejuk dan Anti Hoax” ini dimoderatori oleh Kepala Biro Humas Unsera, Media Sucahya, dengan narasumber 1, Abdul Malik, yang mengangkat persoalan “Kesadaran dan Tanggung Jawab Etis dalam Bermedia”, dan narasumber 2 dari Presidium Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDI) Syaeful Bahri, yang membawakan materi tentang “Menjadi Pemilih Cerdas, Bertanggung Jawab dan Partisipatif”.

Baca Juga  Kemenko PMK Apresiasi Kesiapan KBM Tatap Muka di Kota Yogyakarta. 

“Gadget menjadi satu hal yang tidak bisa terlepaskan dalam perilaku sosial di masyarakat. Ini adalah fenomena yang sebenarnya sudah diprediksi sejak dulu, teknologi determinism, dimana manusia akan bergantung secara akut terhadap teknologi,” kata Abdul.

Kemajuan teknologi informasi, lanjut Abdul, menjadi sarana paling strategis dalam berpolitik karena bisa dijadikan tempat para elit politik menunjukkan eksistensinya ke publik.

Baca Juga  Prodi Mikom Untirta Gelar Workshop Public Relation, Cara Memenej Krisis Jadi Bahasan

“Tidak bisa dipungkiri bila kita dapat mengakses segala informasi melalui handphone. Dan ini dimanfaatkan oleh politik. Dari sana terdapat media yang menyajikan hiburan dan informasi, sehingga kita bisa terjebak pada hiper reality atau hiper political, kedaan dimana fenomena yang terjadi ternyata bukan realitas yang sebenarnya,” paparnya.

Ia menambahkan, gadget bisa merubah perilaku sosial masyarakat menjadi seperti individualistik, alay, eksibisionis, dan lain sebagainya.

“Kita harus bijak dalam bermedia. Kita harus menghadirkan kesadaran ‘aku’, keadaan dimana kita benar-benar paham bahwa kita justru harus hadir di dalam kebaikan-kebaikan hidup. Mari kita ber-tabayun. Kita tidak menggunakan media untuk memecah belah. Manusia punya kehendak bebas, tetapi kehendak bebas dibatasi oleh kesadaran etis. Karena kesadaran itulah kita bisa mengendalikan media, bukan media yang mengendalikan kita,” jelasnya.

Baca Juga  40 Tahun di Antariksa, Voyager Masih Rajin Hubungi Bumi

Diskusi ini dihadiri oleh sekitar 100 pemuda se-Provinsi Banten yang mewakili berbagai organisasi pemuda dan kemahasiswaan, diantaranya dari BEM Universitas Serang Raya (Unsera), BEM UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten, GPRI, GAN, IMC, PGK Banten, IPTI, STIT, FKPPI, GP Ansor, ICMI, IPPNU, dan KNPI.@IMAN