Menolak Persatuan dan Kesatuan
Hampir saja, umat Islam “terbelah”, ukhuwah Islamiah (persaudaraan atas dasar tauhid) yang sudah kokoh terbangun, kemudian nyaris pecah, pasca-Rasulullah SAW wafat. Kaum Ansar menginginkan Saad bin Ubadah (seorang kepala kaum Khazraj) tampil sebagai kepala negara, menggantikan Rasulullah SAW. Sebuah catatan, bahwa Rasulullah SAW tak menentukan seseorang menggantikannya sebagai kepala negara. Kalau sudah ada calon, mesti saja kaum Ansar mendukung orang yang ditunjuk Rasulullah SAW.
Di sebuah ruang pertemuan, Tsaqifah Bani Saidah, kaum Ansar (muslim Madinah) menyeru kepada kaum Muhajirin (muslim asal Makkah), “minnaa amiirun wa minkum amiirun” (kita punya pemimpin masing-masing saja!). Abdurrahman bin Abu Quhafah bin Amir, atau kita mengenalnya Abu Bakar Ash-Shddiq, yang hadir dalam pertemuan itu menyela, “nahu al-umaraa wa antum al-wuzaraa” (kami pemimpin, sedangkan kamu perdana menterinya).
Seorang sahabat, Habbab bin Al-Munzir menolak gagasan Abu Bakar Ash-Shiddiq itu. “Demi Allah, Tak akan kami lakukan! Kita (kaum Ansar dan kaum Muhajirin) punya pemimpin masing-masing saja”. Sekali lagi, Abu Bakar Ash-Shiddig menegaskan, ‘Tidak! Kami umaraa (pemimpin) dan kamu wuzaraa (perdana menteri). Habbab menolak persatauan dan kesatauan kepemimpinan tungal. Punya amir masing-masing saja.
Terpilih Jadi Khalifah
Di tengah-tengah perdebatan, hadirin Saqifah Bani Saidah mau mem-bai’at (mengambil sumpah setia), dengan menyodorkan dua orang terbaik : Umar bin Khattab atau Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. Umar menoleh kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq. “Sebetulnya, saya ingin mem-bai’at Anda, karena Anda-lah orang yang terbaik di antara kami, dan paling dicintai Rasulullah SAW”.
Tanpa diskusi atau musyawarah, Umar segera mengambil tangan Abu Bakar Ash-Shiddiq untuk mem-bai’at-nya (melantik, mengambil sumpah setia), yang ternyata diikuti pula oleh kaum Muhajirin dan kaum Ansar. Umar sangat berwibawa, sanggup “meredakan” perseteruan, Sebelumnya, Abu Bakar Ash-Shiddiq sendiri, di tengah-tengah perdebatan, mengajukan dua calon utama pengganti Rasulullah SAW : Umar bin Khattab sendiri atau Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. “Saya rela, silakah pilih salah seorang di antara mereka…” tegas Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Tampaknya, pengambilan sumpah setia terhadap (pelantikan) Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai khalifah itu, tanpa Al-Qur’an di atas kepalanya. Soalnya, saat itu, belum ada Al-Qur’an yang sudah di-buku-kan seperti sekarang ini. Pidato kenegaraan pertama Abu Bakar Ash-Shiddiq RA menunjukkan kerendahan hatinya (bukan rendah diri), “Aku dipilih untuk memimpinmu, padahal aku bukan yang terbaik di antara kamu. Apabila aku berbuat baik, dukunglah! Apabila aku menyimpang, luruskanlah”. Para sahabat tahu, Abu Bakar Ash0-Shiddiq pernah jadi imam salat, menggantikan Rasulullah SAW. Bagi pengamat, itu isyarat bagi Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Menyatukan Kami dan Kamu
Catatan penting di sini. sebelum Abu Bakar Ash-Ashiddiq terpilih jadi khalifah, ada ajakan “terbelah”, yakni minnaa (masing-masing saja). Namun, Abu Bakar tampil dengan koreksi dan semangat persatuan Islam, persatuan umat Islam. “Nahnu” kami) dan “antum” (kamu) tetap dalam satu wadah dengan semangat satu kesatuan dan kedaulatan Islam. “Nahnu” dan “antum” hanya berbagi peran : seorang jadi amir dan yang lain jadi wazir. Ada relasi struktural amir dan wazir. Minnaa adalah ajakan untuk kedaulatan masing-masing, tanpa relasi struktural, dan hanya relasi kultural. Namun, keduan diikat jadi dwitunggal kaum Muhajirin dan kaum Ansar.
Penyelesaian konflik kaum Muhajirin dan kaum Ansar itu sekaligus pula sebagai pemeliharaan ukhuwwah Islamiah di kalangan umat Islam pada waktu itu. Muhajirin dan Ansar tetap terkoneksi dalam kehidupan sehari-hari, dengan tetap tanpa membubarkan komunitas Muhajirin dan Komunitas Ansar. Muhajirin dan Ansar hanya bisa dibedakan, tetapi tak bisa dipisahkan.
Abu Bakar tampil sebagai pemersatu pada saat-saat kegentingan terjadi, pada saat-saat umat Islam terancam “terbelah”, bukan soal Al-Qur-an, As-sunnah, kiblat, atau Kabah, melainkan soal riyaasah (kepemimpinan) dan siyaasah (politik). Bukan soal ajaran, melainkan soal administrasi atau format pemerintahan. Mereka akan tetap satu Al-Qur’an, satu rasul, satu Kabah.
Politisi Flamboyant
Abu Bakar menggunakan jalan tengah : tak berpihak kepada Muhajirin, juga tak berpihak kepada Ansar, tetapi kedua-duanya “dirangkul” dalam “dwitunggal” amir dan wazir. Abu Bakar berhasil menyelesaikan konflik berbekal seorang diplomat moderat dalam berpolitik praktis berbasis akhlak karimah. Semangat Abu Bakar, dan “Abu Bakar” berikutnya, pasti diperlukan sepanjang masa : piawai memadamkan konflik, pengambil kebijakan yang tak melukai siapa pun atau pihak mana pun. Abu Bakar berhasil memelihara dwitunggal Muhajirin – Ansar!
Makkah dan Madinah, kini jadi satu paket kunjungan pula. Jamaah umrah atau jamaah haji merasa tak sempurna kalau tak berkunjung ke Madinah (tanah kaum Ansar). Makkah dan Madinah jadi dwitunggal. Ada sentuhan Abu Bakar Ash-Shidfdiq di sini.
Kabarnya, sang anak, Ummul Muminin Aisyah RA, sebelumnya sempat berpesan, saat beredar kabar sang ayah dicalonkan jadi khalifah. “Jangan pilah ayahku (jadi khalifah). Dia mudah menangis!”. Benar! Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddig pernah datang ke rumah Fatimah Az-Zahra, dan menangis di hadapan putri Rasulullah SAW, yang juga istri Ali bin Abi Thalib itu. Kabarnya, Aisyah RA mencalonkan Umar bin Khattab jadi khalifah. Zaman sekarang, mungkin : pilih ayahku! Pilih anakku! (Dean Al-Gamereau)