Majalah Teras- Penegasan Presiden Republik Korea Moon Jaein yang tidak menginginkan perang kembali melanda Semenanjung Korea disambut baik kalangan aktivis perdamaian Korea.
Sekjen Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Korea, Teguh Santosa, menilai pernyataan pemimpin baru Korea Selatan itu dapat meredakan ketegangan di Semenanjung Korea dan kawasan Asia Pasifik.
“Pernyataan Presiden Moon itu menyiratkan komitmennya menjaga perdamaian. Patut diapresiasi, setelah sebelumnya Presiden Moon dinilai lebih berpihak ke AS saat berkunjung ke Washington DC dan bertemu Presiden Trump,” ujar Teguh dalam keterangan kepada wartawan dari Beijing, Republik Rakyat China (Sabtu, 19/8).
Presiden Moon adalah salah satu harapan yang dimiliki Semenanjung Korea agar terhindar dari perang. Presiden Moon dinilai mewarisi semangat dan pendekatan politik dua mantan presiden Korea Selatan, Kim Dae Jung dan Roh Moo Hyun, yang mengedepankan dialog dalam menghadapi Korea Utara.
Sepatutnya, Korea Selatan menindaklanjuti pernyataan Presiden Moon dengan mengurangi skala latihan militer bersama Amerika Serikat yang akan digelar kembali dalam waktu dekat ini.
“Ketegangan di Semenanjung Korea adalah buah dari kolonialisasi dan Perang Dingin di era yang lalu. Rakyat Korea dibelah oleh kepentingan Blok Barat dan Blok Timur pada masa itu, dimana masing-masing blok berupaya semaksimal mungkin mempertahankan atau bahkan memperluas pengaruh. Ini yang disebut dengan the politics of containment,” jelasnya.
Setelah Uni Soviet bubar akhir 1991, sempat terlihat perubahan peta pertarungan di kawasan. Namun, menyusul kebangkitan ekonomi dan militer Republik Rakyat China akhir-akhir ini kelihatannya konstelasi pertarungan kepentingan di Semenanjung Korea memasuki babak baru.
Teguh dan ratusan aktivis perdamaian Semenanjung Korea selama sepekan sejak tanggal 12 hingga 18 Agustus berada di Pyongyang, Republik Rakyat Demokratik Korea, untuk mengikuti sejumlah pertemuan dan kegiatan yang pada intinya mendorong pihak Korea Utara untuk terus aktif menjaga perdamaian di kawasan.
“Semenanjung Korea kini terimpit kepentingan AS dan RRC,” katanya.
AS menempatkan sistem pertahanan berat, Terminal High Altitude Area Defense (THAAD) di Korea Selatan untuk menghalau kemungkinan serangan dari Korea Utara. Tapi penempatan THAAD justru memperuncing masalah dan membuat Korea Utara semakin meningkatkan kewaspadaan. RRC pun ikut gelisah mencuriga maksud lain di balik kehadiran THAAD.
Sambung mahasiswa program doktoral jurusan Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran itu, Korea Utara memiliki hak untuk membela diri dari berbagai kemungkinan terburuk yang mengancam kedaulatan mereka.
Pengembangan persenjataan Korea Utara yang jadi pembicaraan dan menimbulkan kekhawatiran belakangan ini adalah realisasi dari kepentingan mempertahankan diri.
Dari berbagai peristiwa di panggung global, Teguh menambahkan, perdamaian tampaknya hanya bisa terjadi bila ada perimbangan kekuatan, baik secara ekonomi maupun militer. Bila perimbangan kekuatan tidak tercapai, dimana ada negara yang sangat powerful dan ada yang sangat powerless, pada satu titik akan terjadi pendudukan dan penjajahan, baik secara ekonomi maupun militer pula.
“Pengembangan senjata Korea Utara bukan sesuatu yang tiba-tiba apalagi didorong oleh keinginan menyerang negara lain. Itu adalah respon mereka atas tekanan AS yang semakin serius di era Trump,” kata Teguh lagi.
Dia menambahkan, sudah berkali-kali menanyakan hal ini ke sahabat-sahabatnya di Pyongyang, dan dijawab bahwa Korea Utara tidak punya keinginan menyerang Korea Selatan, melainkan hanya ingin mempertahankan kedaulatan dari serangan yang mungkin dilancarkan AS ke negeri mereka.
Teguh juga mengulangi pesannya, bahwa cara terbaik mengakhiri ketegangan di Semenanjung Korea adalah dengan tidak menyerang Korea Utara dan menghentikan provokasi termasuk yang bersifat verbal. Kemudian mengakhiri perjanjian gencatan senjata yang ditandatangani di akhir Perang Korea 1953 dan mengubahnya menjadi perjanjian damai.
“Dalam studi konflik ini yang disebut dengan mengubah negative peace menjadi positive peace,” ujarnya lagi.
Setelah perjanjian damai dicapai barulah Semenanjung Korea bisa memasuki babak baru, apakah kedua Korea menjadi satu kembali, atau tetap menjadi dua Korea dengan perbaikan hubungan yang konstruktif. (rm)