Wisata Batu Tulis, Peninggalan Kerajaan Pajajaran

oleh
oleh -

Kompleks Prasasti Batutulis yang luasnya 17 x 15 meter ini terletak di Desa Batutulis, lebih kurang 2 km dari pusat Kota Bogor. Batu Prasasti dan benda-benda lain peninggalan kerajaan Pajajaran terdapat dalam komplek ini.

Pada batu ini berukir kalimat-kalimat dengan huruf Sunda Kawi. Diukir oleh Prabu Surawisesa pada tahun 1533 Masehi (1455-Saka) dengan maksud memperingati jasa ayahandanya Sri Baduga Maharaja atau yang lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi yang sakti.

Sri Baduga Maharaja adalah Raja Pajajaran terbesar yang memerintah pada tahun 1482-1521 Masehi (1404+1443 Saka). Prasasti Batutulis ini adalah tempat untuk melakukan upacara penobatan Raja-raja Pajajaran di bawah kekuasaan Prabu Siliwangi (1482-1521).

Di kompleks itu terdapat 15 peninggalan berbentuk terasit, batu yang terdapat di sepanjang Sungai Cisadane. Ada enam batu di dalam cungkup, satu di luar teras cungkup, dua di serambi dan enam di halaman.

Satu batu bercap alas kaki, satu batu bercap lutut, dan satu batu besar lebar yang berisi tulisan Pallawa dan berbahasa Sanskerta. Konon prasasti batutulis itu dibuat oleh Prabu Surawisesa sebagai bentuk penyelasannya karena ia tidak mampu memepertahankan keutuhan wilayah Pakuan Pajajaran yang dimanatkan padanya, akibat kalah perang dengan kerajaan Cirebon.

Baca Juga  Jembatan Ampera, Simbol Pemersatu Kota Palembang

Perang Pakuan-Pajajaran berlangsung selama 5 tahun. Cirebon yang didukung kerajaan Demak berhasil mengalahkan kerajaan Pakuan setelah pasukan meriam Demak datang membantu tepat pada saat pasukan Cirebon mulai terdesak mundur. Laskar Galuh (Pakuan) tidak berdaya menghadapi “panah besi yang besar, menyemburkan kukus ireng, bersuara seperti guntur dan memuntahkan logam panas”.

Tombak dan anak panah mereka lumpuh karena meriam sehingga jatuhlah Galuh diikuti dua tahun kemudian dengan jatuhnya pula kerajaan Talaga, benteng terakhir kerajaan Galuh.

Isi Prasasti

Wangna pun ini sakakala, prebu ratu purane pun, diwastu diya wingaran prebu guru dewataprana di wastu diya wingaran sri baduga maharaja ratu hajj di pakwan pajajaran seri sang ratu dewata pun ya nu nyusuk na pakwan diva anak rahyang dewa niskala sa(ng) sida mokta dimguna tiga i(n) cu rahyang niskala-niskala wastu ka(n) cana sa(ng) sida mokta ka nusalarang ya siya ni nyiyan sakakala gugunungan ngabalay nyiyan samida, nyiyanl sa(ng)h yang talaga rena mahawijaya, ya siya, o o i saka, panca pandawa e(m) ban bumi.

Baca Juga  Lestarikan Badak Jawa di Ujung Kulon, Balai TNUK Pandeglang Bangun JRSCA

Yang artinya : Semoga selamat, ini tanda peringatan Prabu Ratu almarhum Dinobatkan dia dengan nama Prabu Guru Dewataprana, dinobatkan (lagi) dia dengan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata.

Dialah yang membuat parit (pertahanan) Pakuan. Dia putera Rahiyang Dewa Niskala yang dipusarakan di Gunatiga, cucu Rahiyang Niskala Wastu Kancana yang dipusarakan ke Nusa Larang.

Dialah yang membuat tanda peringatan berupa gunung-gunungan, membuat undakan untuk hutan Samida, membuat Sahiyang Telaga Rena Mahawijaya (dibuat) dalam (tahun) Saka “Panca Pandawa Mengemban Bumi”

Disebelah prasasti itu terdapat sebuah batu panjang dan bulat sama tingginya dengan batu prasasti. Batu panjang dan bulat (lingga batu) ini mewakili sosok Sri Baduga Maharaja sedangkan prasasti itu sendiri mewakili sosok Surawisesa. Penempatan kedua batu itu diatur sedemikian rupa sehingga kedudukan antara anak dengan ayah amat mudah terlihat.

Baca Juga  Pesona Keindahan Gua Hawang Yang Tersembunyi

Si anak ingin agar apa yang dipujikan tentang ayahnya dengan mudah dapat diketahui (dibaca) orang; akan tetapi ia tidak berani berdiri sejajar dengan si bapak. Demikianlah batutulis itu diletakkan agak kebelakang disamping kiri lingga batu.

Surawisesa tidak menampilkan namanya dalam prasasti. Ia hanya meletakkan dua buah batu didepan prasasti itu. Satu berisi astatala ukiran jejak tangan dan satunya berisi padatala, ukiran jejak kaki.

Mungkin pemasangan batu tulis itu bertepatan dengan dengan upacara srada yakni “penyempurnaan sukma” yang dilakukan setelah 12 tahun seorang raja wafat. Dengan upacara itu sukma orang yang meninggal dianggap telah lepas hubungannya dengan dunia materi.

Dengan kata lain, prasasti batutulis merupakan bukti rasa hormat seorang anak terhadap ayahnya, dan merupakan suatu hal yang perlu diteladani oleh generasi sekarang maupun yang akan datang.***