Tradisi Mandi Kasai Masyarakat Lubuk Linggau

oleh
oleh -

SUMATERA SELATAN – Masyarakat nusantara memaknai siklus kehidupan seperti menikah, mengandung, melahirkan, dan meninggal sebagai suatu kejadian yang harus dilewati dengan berbagai upacara. Uniknya, setiap daerah di nusantara mempunyai upacara dan tradisi yang berbeda-beda. Salah satunya seperti tradisi menjelang pernikahan pada masyarakat Lubuk Linggau, Sumatera Selatan.

Tradisi menjelang pernikahan yang dilakukan oleh masyarakat Lubuk Linggau adalah Mandi Kasai. Tradisi Mandi Kasai dilakukan dengan memandikan sepasang kekasih di sungai yang disaksikan oleh teman dan kerabat mereka. Tradisi ini mempunyai dua makna, pertama adalah sebagai pertanda sepasang kekasih calon pengantin akan meninggalkan masa remaja dan memasuki kehidupan berumah tangga. Makna kedua, Mandi Kasai akan membersihkan jiwa dan raga sepasang kekasih yang akan menikah.

Baca Juga  Simbol Multikultural pada Masjid Cheng Ho

Tradisi Mandi Kasai inilah yang kemudian menginspirasi lahirnya tari kreasi dari Kabupaten Lubuk Linggau yang dinamakan dengan tari Bujang Gadis. Denny, perwakilan Dewan Kesenian Lubuk Linggau mengungkapkan, “Bujang Gadis merupakan tarian kontemporer yang mengambil ide dari tradisi pernikahan adat antara bujang dan gadis di masyarakat Lubuk Linggau. Kami berusaha menggali tradisi-tradisi lama yang sekarang banyak ditinggalkan, seperti Mandi Kasai itu salah satunya. Tradisi tersebut kami kolaborasikan dengan yang modern biar kelihatan lebih menarik.”

Baca Juga  H. Ilyasa : Menjadi Pemimpin Harus Bermanfaat Untuk Masyarakat

Pernikahan Bujang Gadis Lubuk Linggau dipentaskan ke atas panggung sebagai tarian kreasi. Tari kreasi ini dipentaskan oleh laki-laki dan perempuan dengan mengenakan pakaian adat yang kerap dipakai oleh masyarakat desa di Lubuk Linggau dalam kesehariannya, yaitu baju kurung dengan bawahan kain songket, dilengkapi penutup kepala yang disebut tanja. Sementara dari garapan musiknya, tarian ini diiringi oleh musik digital yang dipadukan dengan sentuhan alat musik tradisional, seperti kendang, kromong, rebana, dan akordian sebagai ciri khas musik melayu Sumatera.

Garapan kreasi ini menggunakan tiga latar belakang tempat sebagai pembangun cerita. Ketiga tempat tersebut adalah suasana pedesaan, sungai, dan tempat pernikahan. Tiga latar tempat itu dibangun dengan bantuan multimedia, sehingga membantu penonton dalam memahami alur yang dikisahkan dalam tarian.

Baca Juga  Monpera, Simbol Kesucian Para Pejuang

Terinspirasi dari tradisi unik Mandi Kasai, pementasan menyimpan amanat yang dalam tentang arti penting menjaga dan melestarikan tradisi adiluhung peninggalan leluhur. “Modernisasi ini bukan berarti meninggalkan tradisi yang ada. Kami ingin menceritakan, tradisi itu penting di zaman sekarang, jangan sekali-sekali melawan tradisi, tapi bukan berarti menolak modernisasi,” begitu kata Denny kemudian melanjutkan.(man)***