Generasi Milenial Jangan Paksakan Diri Beli Rumah di Tengah Kota

oleh
oleh -

Tingginya harga hunian di kota-kota besar seperti Jakarta bakal sulit dijangkau oleh generasi milenial yang rata-rata berpenghasilan Rp 4 juta-Rp 7 juta/bulannya. Kondisi itu, tentu membuat generasi milenial harus pandai mencari tempat tinggal yang layak sesuai dengan dompet mereka.

Head of Advisory Jones Lang LaSalle (JLL), Vivin Harsanto, mengatakan generasi milenial harus pintar dalam menyesuaikan keinginan untuk mencari hunian dengan kondisi keuangan yang dimiliki.

“Jadi gini, berarti kalau harga properti semakin tinggi berarti mereka harus pintar-pintar mencari produk yang memenuhi daya belinya mereka. Pasti ada, out there, apakah hunian yang harganya Rp 350 juta atau Rp 400 juta. Pasti untuk apartemen ada,” kata Vivin di JLL Jakarta, Rabu (5/4/2017).

Baca Juga  Revolusi Industri 4.0 Bukan Ancaman

Ia pun mengatakan, bahwa generasi milenial jangan terlalu memaksakan untuk bisa tinggal di pusat-pusat kota, seperti Jakarta. Sebab, harga di pusat kota sudah terlampau mahal.

“Kalau di Jakarta agak sulit, mungkin cari di pinggir-pinggir atau daerah suburban,” terang Vivin.

Vivin mengatakan, kebanyakam generasi milenial akan menjadi penghuni dari properti yang baru dibeli (end user). Menurutnya, generasi milenial harus bisa menyesuaikan dengan kondisi. Misalnya, bagi yang belum berkeluarga apartemen kelas menengah di lokasi yang terjangkau bisa menjadi pilihan awal.

Baca Juga  Ketua Satgas COVID-19: Ketentuan Protokol Kesehatan Mudik Lebaran Segera Terbit

Namun, apabila tak ingin tinggal di hunian vertikal, maka generasi milenial bisa mencari rumah tapak di lokasi tertentu, dengan kondisi seadanya.

Ia mengatakan, sebetulnya kaum milenial masih mempunyai daya beli untuk bisa mendapatkan properti pribadi. Walau pun, kata dia, beberapa kaum milenial juga masih mendapat bantuan biaya dari orang tua.

Baca Juga  Kunjungi PWI Banten, Lapas Serang Serahkan Hasil Karya Napi Berupa Jahe Merah Instan dan Tempat Sampah

“Misalnya, mendapatkan softloan dari orang tua untuk DP, atau DP-nya yang membayar orang tua baru setelah itu cicilannya mereka teruskan, biasanya seperti itu,” tutur Vivin.